Upacara metatah/ Potong Gigi

Rabu, 23 Oktober 2013
Posted by Unknown

Upacara metatah/ Potong Gigi

Upacara Mapandes bertujuan untuk mengendalikan “sad ripu” dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 4 buah gigi atas dan 2 buah taring (semuanya berjumlah 6 buah). Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah 6 (enam) sifat manusia yang dianggap kurang baik dan sering dianggap sebagai musuh di dalam diri sendiri.
Ke-enam sifat tersebut, yaitu :
  1. Krodha (marah)
  2. Kama (hawa nafsu)
  3. Loba (tamak)
  4. Moha (bingung)
  5. Mada (mabuk)
  6. Matsarya (iri hati)
Demikianlah upacara Mapandes/Matatah, bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan belaka, tetapi mempunyai tujuan yang mulia.
Upakara :
  1. Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
  2. Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal
Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
  1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
  2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka  kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
  3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.
  4. Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).
  5. Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).
  6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  7. Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).
  8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.
  9. Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
Pelaksanaan upacara
Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti :
  1. Pada dahi, diantara kening/selaning lelata
  2. Pada taring kanan
  3. Pada taring kiri
  4. Pada gigi atas
  5. Pada gigi bawah
  6. Pada lidah
  7. Pada dada
  8. Pada nabhi/puser
  9. Pada paha kanan dan paha kiri
Penulisan Rerajahan tersebut sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara.
Setelah diperciki “tirtha pasangihan”, lalu tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh Sulinggih atau orang bertugas untuk itu.
Beberapa Mantra :
  1. Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet.
  2. Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali).
  3. Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH.
  4. Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku.
Catatan
Dalam pelaksanaan upacara Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu : Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur Sanghyang Yama dan Sastra Proktah.
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.
(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).
Setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya.
Dalam lontar Smaradahana, menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri.
Pustaka Tutur Sanghyang Yama, menyebutkan  :
…..yan amandesi wwang durung angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji.
Tetapi dalam lontar Sastra Proktah, ada disebutkan :
iki ling ning sastra proktah, ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati, wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati.
Sedangkan dalam pelaksanaannya dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan :
  1. Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya.
  2. Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi.
  3. Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan).
  4. Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung.

 

Tata Cara Membuat Bangunan Suci



Setiap pendirian bangunan suci, seperti : Sanggah Pamarajan dan Pura, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu :

  1. Upacara Pangruwak
  2. Upacara Nasarin
  3. Upacara Mamakuh
  4. Upacara Mlaspas
  5. Upacara Mapadagingan
  6. Upacara Ngenteg Linggih
  7. Upacara Piodalanselengkpanya
Upacara Pangruwak
Upacara Pangruwak adalah upacara permohonan kehadapan para bhuta kala yang menempati tanah tersebut, agar berkenan tanah tersebut untuk dijadikan tempat pendirian bangunan. Apabila upacara ini tidak dilakukan, ada keyakinan akan mendapatkan gangguan dari para bhuta kala atau roh-roh halus penghuni tanah tersebut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali disebut dengan Pamali.
Upakara yang dipersembahkan berupa caru Eka Sata, yakni ayam berumbun, dengan perlengkapannya menurut ajaran sastra. Salah satu sastra yang menguraikan hal itu disebut Lontar Bhama Kertih.
Dalam lontar tersebut diuraikan, sebagai berikut :
Caru ayam brumbun, urip 33, pakalahyangan, sesayut durmanggala, prayascita, yang dipersembahkan kepada Sang Bhuta Bhuwana. Segehan Agung, dilengkapi dengan tetabuhan, dipersembahkan kepada sang Bhuta Dengen.
Dilanjutkan dengan mengukur lokasi bangunan tersebut dengan ketentuan Asta Kosala, Asta Dewa, Asta Bhumi, Asta Patali, sesuai dengan kegunaannya.
Setelah itu barulah dilanjutkan dengan persembahyangan bagi para penyungsung tempat suci itu. Semua bunga, kawangen yang dipergunakan untuk sembahyang dikumpulkan, untuk ikut dijadikan dasar.
Upacara Nasarin
Upacara Nasarin atau peletakan batu pertama, sesuai dengan sastra yang disebut di atas, sebagai berikut :
  1. Dasar pertama dengan Bata Bang  atau batu bata merah, yang bergambarkan Badawangnala, dengan wijaksara ANG.
  2. Klungah Kelapa Gading makasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan wijaksara OM kara. Dilengkapi dengan wangi-wangi, lengawangi, buratwangi, dedes, kawangen kraras, uangnya 11 kepeng, dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang 4 warna (lawe catur warna). Di pucaknya kawangi dengan uangnya 33 kepeng (urip bhuwana), canang satangkep, tumpeng bang adanan, iwak (daging) ayam biying yang dipanggang, lem\ngkap dengan buah-buahan. Jugjugin (tancapkan) dengan keris/dahan (carang) dadap, simbul lanang (purusa). Setelah itu baru dipergunakan sebagai dasar.
  3. Di atas upakara tadi, ditindih dengan bata bang (batu bata merah), bertuliskan Dasaksara. Lalu ditindih dengan batu hitam (batu bulitan), yang bertuliskan Tri Aksara ANG UNG MANG.
  4. Yang paling atas adalah sebuah kawangen, dengan uangnya 11 kepeng, yang bertuliskan OM karamertha..
Perincian upacara yang tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan dengan Tattwa atau sistim filsafat Hindu, tentang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
Mamakuh
Apabila bangunan tersebut telah selesai dibangun, dilanjutkan dengan upacara Mamakuh. Dalam upacara ini yang penting, adanya upakara yang disebut Pangurip-urip, yang terdiri : kapur (apuh), warnanya putih; darah (rah), warnanya merah; arang (areng), warnanya hitam dan asaban cendana, warnanya kuning.
Upacara ini bertujuan untuk merubah benda-benda mati, yakni bahan-bahan yang digunakan, untuk dihidupkan dan disucikan.
Dalam pelaksanaanya, yang dipasang pertama adalah kapur, sebagai lambang Siwa, yakni dewa pelebur, melebur segala yang kotor, menjadi bersih/suci. Yang ke dua, adalah darah dengan warna merah, sebagai lambang Brahma, yakni dewa Pencipta (Utpeti); yang ke tiga adalah arang, warna hitam, lambang dewa Wisnu, sebagai dewa Pemelihara (Sthiti); dan asaban cendana, dengan warna kuning, lambang dewa Mahadewa, sebagai lambang kesuburan/kebahagiaan. Disamping itu adanya pemasangan Pangulap-Ulap, yakni secarik kain putih yang bergambar sesuai dengan bentuk dan fungsi bangunan tersebut.
Jadi upacara Mamakuh, berfungsi untuk menyucikan segala kekotoran dan merubah benda mati untuk menjadi hidup.
Upacara Mlaspas
Setelah upacara Mamakuh dilanjutkan dengan upacara  Mlaspas, yakni upacara penyucian tingkat lanjut. Upacara ini ditandai dengan pamasangan Orti. Orti lambang kebahagiaan/ketenangan dan juga berarti kesuburan (orti-wresti = hujan).
Upacara Mapadagingan
Untuk bangunan suci, upacara ini amat penting, karena tanpa upacara Mapadagingan, bangunan tersebut atau pelinggih itu bukanlah rumah dewa (dewagreha), melainkan rumah setan (paisacha greha). Mapadagingan juga disebut dengan Mulang Panca Dhatu (lima logam mulia), seperti : pripih perak, warna putih, lambang dewa Iswara; pripih tembaga, warna merah, lambang dewa Brahma; pripih mas, warna kuning, lambang dewa Mahadewa; pripih besi, warna hitam, lambang dewa Wisnu dan permata (suasa) , panca warna, lambang dewa Siwa.
Fungsi upacara Mapadagingan, adalah  menyucikan bangunan tersebut dalam tingkat lanjut, agar para dewa (Panca Brahma Dewata), perkenan bersinghasana pada pelinggih tersebut.
Setelah pelinggih itu diisi dengan Padagingan, para dewata  dilinggakan (dewa pratistha), barulah bangunan itu sebagai media sembahyang.
Ngenteg Linggih
Dengan upacara Mapadagingan itu dan dewa pratistha, dilanjutkan dengan Ngenteg Linggih, dengan harapan dewata yang dilinggakan, selalu berkenan menganugrahkan keselamatan kepada para penyiwinya.. Dalam rangkaian upacara ini, ada disebutkan : upacara Ngremekin, yakni 3 hari setelah itu, dengan tujuan menghilangkan segala bentuk kekotoran, pada pelinggih-pelinggih tersebut (angilangaken sebel kandel letuh regede ring parhyangan bhatara sowang-sowang).
Setelah hari ke 11, dilanjutkan dengan Makebat Daun, yang disebut juga mapasaran, yakni suatu prosesi upacara, bagaikan para dewata ke pasar, yang disebut Pasar Keling, sesuai dengan bunyi Pajejiwan (Mapaselang). Lalu upacara Ngebekin, yakni lambang apa-apa yang didapat dari Pasar Keling, untuk dianugrahkan kepada para penyiwi (ngebatin olih-olihan idane rawuh saking Pasar Keling). Setelah berlangsung 42 hari (bulan pitung dina), ada upacara Nyenukin, dengan tujuan  agar para dewa menganugrahkan keselamatan, kemakmuran dan ketenangan kepada umat    (mangda ebek kang amertha ring jagate, landuh, kawiryan, kawibawan, malarapan antuk rarapan saking Pasar Keling, kapaica ring jagate, mwah sakalwir tinandur nadi =  Lontar Kusumadewa Tattwa).
Semua rangkaian upacara yang tersebut di atas dapat disebut dengan Karya; Karya ini yakni pada saat Mapadagingan/Mlaspas, biasanya dijadikan suatu peringatan yang disebut dengan Piodalan (hari lahir)..
Caru Resi Gana
Caru Resi Gana, adalah salah satu jenis caru yang istimewa, karena bahan yang digunakan berbeda dengan caru yang lainnya, yakni menggunakan seekor itik putih dan tidak menggunakan sate, sebagai perlambang urip. Tetapi dalam beberapa sumber ada juga menyebutkan, yakni tidak menggunakan itik putih, melainkan itik biasa (sebulu-bulu).
Dalam pengolahannya, memakai layang-layang, tidak menggunakan  sate (jejatah), serta olahan jejeron, sesuai dengan fungsinya. Dilengkapi dengan sega (nasi) 9 pangkon, alasnya tamas besar, dengan daun nagasari,  9 helai daun, masing-masing ditulisi dengan wijaksara, mulai dari tengah, ke timur dan mider tengen, yakni : OM ANG GA NA RE SI BHYO NAMAH, artinya : Ya Tuhan yang berwujud Resi Gana yang kami hormati. Caru ini diletakkan pada sebuah lubang yang telah ditentukan dengan dialasi tepung, dengan gambar Padma Asta Dala, dengan tulisan Dasaksara :SA BA TA A I NA MA SI WA YA.. Menggunakan sanggar tutuhan, dengan penjor bambu gading, dengan kober 2 buah, dengan gambar Sanghyang Gana, dengan atribiut membawa Genta (bajra) dan yang satu lagi membawa Gada, dilengkapi dengan satu tangkai daun beringin, yang bergambarkan Cakra.
Pada dasarnya Caru ini  untuk menyucikan karang angker, seperti ada orang mati salah pati, kalebon amuk, disambar petir atau bahaya-bahaya yang lain baik dari alam maupun dari Bhuta Kala.
Hakekatnya adalah pemujaan kepada Sanghyang Gana, sebagai dewa penolak bahaya, sehingga disebut Hyang Awighneswara. Konsep dasar dari caru ini adalah bertitik tolak dari konsepsi Siwa Sidhanta, yang menadi Ista Dewata adalah Sanghyang Gana, putra dewa Siwa
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/tata-cara-membuat-bangunan-suci.html

Makna Udeng ( Destar )

Udeng adalah sehelai kain yang biasanya diikatkan di kepala laki - laki dengan bentuk dan corak berwarna - warni sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(1) Cakrawayu Peduli Bali, lekukan udeng memiliki makna :
  • Lekuk dikanan lebih tinggi daripada dikiri berarti hendaknya kita lebih banyak melakukan hal yang baik (dharma) dari pada berbuat buruk (adharma)
  • Ikatan ditengah - tengah kening bermakna memusatkan pikiran kita.
  • Ujung keatas melambangkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan menggunakan udeng secara garis besarnya disebutkan hendaknyalah kita selalu berbuat yang baik sehingga nantinya kita dapat bersatu dengan beliau (moksa).

Sedangkan udeng yang tertutup dan ikatan dibelakang yang boleh memakai udeng ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(2) Cakrawayu Peduli Bali, adalah pinandita (sulinggih) yaitu orang yg sudah mewinten atau Samkara Eka jati dan udeng seperti ini sering disebut dengan ''mebongkos nangka''.
 
Dalam ranah kadiatmikan, sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(3) Bhakti Manawa Wedanta, udeng juga melambangkan panunggalan tri nadi! Artinya dalam persepsi masyarakat spiritual Bali, selaning lelata adalah pertemuan dari Tri Nadi itu, 
  • Ida, 
  • Pinggala, 
  • Sumsumna
Keseimbangan spiritual manusia ada di titik tengah itu.. Disanalah sebaiknya simpul udeng di taruh. 

Udeng sebagai kelengkapan busana adat bali dan sembahyang sebagaimana juga disebutkan dalam kutipan salah satu komentar3 Bhakti Manawa Wedanta, udeng memiliki simbol ketuhanan orang bali yang menyatukan Tri Murti dalam simpul "nunggal", 
  • Tarikan ujung kain kanan melambangkan Wisnu, 
  • Tarikan ujung kain kiri melambangkan Brahma, 
  • Ujung kain diatas yang ditarik kebawah melambangkan Siwa, 
Artinya orang bali menuhankan Tri Murti sebagai satu kesatuan yang utuh dalam perlambang udeng yang digunakan.

Demikianlah disebutkan makna dan pengertian dari penggunaan udeng yang digunakan sehari - sehari sebagai kelengkapan pakaian adat dan budaya di Bali.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/makna-udeng-destar.html

Makna Persembahyangan

Sembahyang adalah salah satu hakekat inti dari ajaran Hindu Dharma. Setiap orang yang mengaku beragama, ia pasti melakukan sembahyang karena sembahyang menurut ajaran agama bersifat wajib atau harus.

Sembahyang intinya adalah iman atau percaya sehingga semua tingkah laku atau perbuatan, pikiran dan ucapan sebagai perwujudan dalam bentuk “bhakti” hakekatnya bersumber pada unsur iman (sraddha) yang salah satunya dengan cara sembahyang.

 Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu;
  • Sembah yang berarti 
    • Sujud atau sungkem, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran.
  • Hyang yaitu 
    • Yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu : Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.

Didalam bahasa sehari-hari, orang bali sering juga menyebut kata sembahyang dengan sebutan:
  • Muspa, karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan jalan persembahan kembang (puspa).
  • Mebakti, dinamakan demikian karena inti persembahan itu adalah untuk memperlihatkan rasa bakti (bhakti) atau hormat setulus-tulusnya dengan cara mencakupkan kedua belah tangan atau cara lain yang dapat diartikan sama sebagai penyerahan diri setulus hati kepada yang dihormati atau Tuhan Yang Maha Esa.
  • Maturan, yang artinya menyampaikan persembahan dengan mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai menurut kemampuan dengan perasaan tulus ikhlas, seperti buah, kue, minuman dll.
Didalam bhagawadgita, yoga atau Samadhi dinyatakan sebagai salah satu bentuk persembahyangan yang dapat pula dilakukan oleh orang yang menganut ajaran sanatha dharma (hindu) dengan melakukan “tri sandhya”.

Sembahyang atau yadnya mempunyai fungsi dan kedudukan sangat penting dalam kehidupan beragama. Ini ditegaskan oleh kitab weda smerti sebagai berikut;

“wedoditam swakam karma nityam kuryadatandritah, Taddhi kurwanyathasakti prapnoti paranam gatim” (Manawa Dharmasastra IV, 14)

Hendaknya tanpa kenal lelah melakukan yadnya yang ditentukan untuknya dalam weda, karena ia yang melaksanakan semua itu menurut kemampuan mencapai kedudukan kejiwaan paling tinggi.

Dengan menggariskan ketentuan yang ditegaskan adanya penyesuaian kemampuan menurut kemampuan atau relative tidaklah mutlak untuk melakukan yadnya melebihi kemampuan karena dengan melebihi kemampuan berarti bertentangan pula dengan weda. Demikian dijelaskan pengertian tentang "sembahyang" dalam Forum Diskusi Hindu Nusantara (Facebook), ref)

Sebelum melakukan sembahyang, setelah duduk dan situasi tenang, maka Mantram Penyucian Badan dan Sarana Sembahyang disebutkan sebagai awal dari persembahyangan.

Dalam tuntunan sembahyang melalui sebuah keyakinan yang bersumber pada sraddha kita yang disebutkan sebagai berikut :
  • Makna dan Tujuan dari persembahyangan :
    • Untuk menghormati dan mengagungkan kebesaran sifat Tuhan Yang Maha Esa, selaku pencipta dan penguasa alam semesta.
    • Sebagai pengakuan diri bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang sangat lemah.
    • Sebagai permohonan maaf dan pengampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan dalam hidupnya.
    • Menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas segala waranugraha-Nya.
    • Memohon perlindungan-Nya agar dijauhkan dari segala bahaya maupun cobaan hidup.
    • Menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.   
  • Pura sebagai tempat sembahyang atau pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya. 
  • Macam-macam Persembahyangan :
    • Menurut waktu pelaksanaan.
      • Nitya Kala, yaitu sembahyang yang dilaksanakan 3 (tiga) kali sehari.
      • Naimitika Kala, yaitu persembahyangan yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu.
    • Menurut bentuk pelaksanaannya.
    • Persembahyangan bersama dengan dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan bersama tanpa dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan perorangan.  
  • Persyaratan Sembahyang
    • Persyaratan lahir (sakala, wahya) :
      • Bersihkan badan dengan mandi. Boleh juga mandi dengan air kumkuman.
      • Berpakaian yang bersih dah sopan.
      • Sarana persembahyangan yang dipakai supaya baik, misalnya : Bunga yang harum dan segar, dupa yang harum serta kwangen.
      • Tempat persembahyangan yang bersih dan bersuasana tenang. 
    •  Persyaratan bathin (niskala, adyatmika) :
  • Rasa tulus ihklas dalam melaksanakan sembahyang.
  • Kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan.
  • Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh.
  • Kesadaran melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta.
  • Meyakini ajaran Tat Twam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama.
    • Sikap Sembahyang
      • Sikap tangan.
      • Sikap tangan pada waktu Tri Sandhya. Mengambil sikap Devapratistha atau Amusti Karana yaitu kedua ibu jari tangan dipadukan dengan telunjuk tangan kanan (berbentuk “kojong”) atau kedua ibu jari tangan kanan dan kiri dipertemukan/ditempelkan sedangkan jari-jari tangan yang lain saliang bertumpukan diatas ulu hati.
      • Sikap tangan pada waktu melaksanakan kramaning sembah. Sikap tangan pada waktu melaksanakan persembahyangan/kramaning sembah yaitu kedua belah telapak tangan dicakupkan dan diangkat keatas ubun-ubun.
      • Sikap badan pada waktu sedang sembahyang.
      Bila memuja dalam sebuah Pura, Sanggah Pamrajan dan sebagainya dilakukan dengan cara duduk. Bagi kaum pria dengan sikap Padmasana (Silasana) sedangkan sedangkan bagi kaum wanita dengan sikap Bajrasana (bersimpuh). Ada lagi sikap-sikap yang lain misalnya bagi yang sakit mengambil sikap Sawasana. Selanjutnya apabila kondisitempat tidak memungkinkan untuk duduk maka dapat dilaksanakan dengan mengambil sikap Padasana (berdiri). 
Sebagai selah satu kelengkapan sembahyang, penggunaan udeng disebutkan memiliki simbol ketuhanan dalam simpul yang "nunggal".
Demikianlah pengertian dan makna sembahyang kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya agar menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/makna-persembahyangan.html

Bunga Yang Baik Di Pakai Sembahyang

Bunga; "kembang" atau "sekar" yang digunakan sebagai sarana sembahyang dan upacara yadnya disebutkan adalah lambang kesucian, sehingga diusahakan bunga seperti berikut :
  • Segar, 
  • Bersih, dan 
  • Harum, 
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan artikel kramaning sembah dalam parisada, ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang, menurut Agastyaparwa, bunga-bunga tersebut seperti berikut: 
Nihan Ikang kembang yogya pujakena ring bhatara
  • kembang uleran, 
  • kembang ruru tan inunduh, 
  • kembang laywan, 
  • laywan ngaranya alewas mekar, 
  • kembang munggah ring sema, 
  • Nahan talwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.  
Artinya: Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, 
  • bunga yang berulat, 
  • bunga yang gugur tanpa digoncang, 
  • bunga-bunga yang berisi semut, 
  • bunga yang layu, yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, dan
  • bunga yang tumbuh di kuburan. 
Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik-baik yang juga dalam penjelasan lontar Kunti Yadnya, Bunga Mitir dinyatakan tidak patut dipersembahkan sebagai sarana upacara Dewa Yadnya.

Sebagai tambahan, untuk Mantram Penyucian Bunga, disebutkan : "Om puspa dantà ya namah swàha", artinya: Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci.

Dalam pengembangan aspek relegi pertamanan tradisional Bali, dijelaskan beberapa jenis bunga yang baik dipakai dalam persembahyangan sesuai dengan warna dari masing-masing Dewa yang disesuaikan dengan warna bunga yang dipilih sesuai dengan Asta Dala dan baunya harum seperti :
  • Dewa Wisnu : bunga kenanga atau teleng, 
  • Dewa Brahma : bunga mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri, kembang kertas merah, 
  • Dewa Iswara : bunga teratai putih, jepun atau kamboja petak (putih), cempaka putih. 
  • Dewa Mahadewa : bunga teratai kuning, cempaka kuning, kembang kuning atau alamanda. 
Demikianlah disebutkan bunga utawi sekar yang digunakan dalam persembahyangan dan yadnya. 
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/bunga-yang-baik-di-pakai-sembahyang.html
Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

SELAMAT DATANG DI BLOG SUGITA WIBHUSHAKTI
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

- Copyright © SUGITA WIBHUSHAKTI -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -