Posted by : Unknown Rabu, 23 Oktober 2013

Makanlah Setelah Ber-“yadnya” Print E-mail
Balipost – Minggu,  6 September 2009.
Makanlah Setelah Ber-“yadnya”Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag
Dewanrsin manusyamsca
pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha

(Manawa Dharmasastra III.117)
Maksudnya: Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dan dosa.
Balipost – Minggu,  6 September 2009.
Makanlah Setelah Ber-“yadnya”Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag
Dewanrsin manusyamsca
pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha

(Manawa Dharmasastra III.117)
Maksudnya: Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dan dosa.

UPACARA masaiban dalam tradisi umat Hindu di Bali sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Namun sampai sekarang masih ada banyak perbedaan persepsi di kalangan umat Hindu tentang upacara sederhana itu. Upacara masaiban adalah tradisi untuk melakukan persembahan berupa sesajen atau banten setelah selesai memasak. Sesajen masaiban itu berbentuk sejumput nasi dengan menggunakan alas sepotong daun pisang atau sarana lain. Nasi itu dilengkapi lauk-pauk yang ada atau dengan sedikit garam saja.

Mengenai makna upacara ini umumnya sudah ada persamaan persepsi terutama di kalangan intelektual Hindu. Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan istilah yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa. Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.

Yang mungkin masih banyak perbedaan tafsir adalah bagaimana memaknai lebih lanjut ajaran ber-yadnya sebelum makan dalam pelaksanaan nyatanya di kehidupan sehari-hari. Demikian juga soal bentuk banten masaiban. meskipun masih ada sedikit perbedaan, tidak begitu dimasalahkan oleh umat. Yang sering dimasalahkan adalah di mana banten itu mesti dipersembahkan.
Ada yang mengacu pada Manawa Dharmasastra III.68 dan 69. Dalam sloka 68 dinyatakan, dosa manusia yang ditimbulkan oleh litha tempat penyembelihan yaitu tempat memasak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya dan tempayan tempat air. Dan sini, lalu ada yang menganjurkan agar banten saiban itu dipersembahkan di lima tempat penyembelihan itu. Namun sloka 69 menyatakan bahwa untuk menebus dosa, setiap kepala keluarga digariskan untuk melakukan panca yadnya. Ini artinya, persembahan banten saiban itu bukanlah semata-mata di lima tempat penyemblihan tersebut, namun digariskan agar orang melakukan panca yadnya setiap harinya.

Dalam wujud ritual, masai ban adalah bentuk pelaksanaan panca yadnya dalam bentuk banten yang kecil atau inti saja. Oleh karena panca yadnya yang digariskan. maka banten saiban itu dapat dipersembahkan sampai ke sanggah merajan dan tempat-tempat lainnya di rumah tinggal keluarga. Sebagaimana dinyatakan dalam sloka Manawa Dharmasastra III,717, keluarga boleh makan setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan yang Mahaesa, kepada Resi, kepada Dewa Pitara atau roh suci leluhur yang telah mencapai Siddha Dewata, kepada penjaga spiritual rumah tinggal (hulu pekarangan) dan kepada Atithi atau tamu.

Dalam sloka 118 dinyatakan, barang siapa menyiapkan makanan hanya untuk dininya sendini sebenarnya ia memakan dosa. Kitab suci itu menetapkan, makanan suci itu adalah makanan yang telah dipersembahkan dalam upacara yadnya seperti banten saiban itu. Makan yang demikian itulah makanan orang-orang bijaksana.

Apa yang dinyatakan dalam beberapa sloka ManaWa Dharmasastra dan Bhagawad Gita itu penn dijabarkan lebih dalam. Hal-hal tersebut seyogianya dipahami sbagai suatu konsep hidup yang baik, benar dan wajar. Konsep hidup yang dikandung dalam upacara masaiban itu adalah konsep yang mendorong kita agar bekerja dengan baik, benar dan wajar terlebih dahulu kemudian hasil kerja itulah yang kita makan.

Konsep ini sangat tepat di segala zaman. Jangan seperti orang yang ingin mendapatkan banyak rezeki tetapi tanpa bekerja. Dalam kearipan lokal Bali ada disebut “ngayah dulu baru dapat catu atau hasil”. Makanya ada yang disebut “catu tanpa ayah”, artinya dapat hasil tanpa kerja. Artinya, ada masyarakat yang bekerja tetapi tidak mendapatkan hasil.

Ini artinya, maknailah upacara masaiban itu dengan mengembangkan etos kerja yang baik. Etos kerja yang baik itu adalah etos kerja yang profesional dari para pekerja mendapat perlakuan yang adil dan sistem kerja yang ditetapkan oleh kebijakan Pemerintahan Negara. Semoga dengan memaknai upacara masaiban ini kita bisa meningkatkan sikap jujur dan adil dalam kerja. Jangan hanya menyerahkan semua urusan kita pada Tuhan. Mohonlah karunia Tuhan dengan bekerja berdasarkan jnyana atau ilmu pengetahuan sebagai wujud bakti kita pada Tuhan.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1449&Itemid=96

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

SELAMAT DATANG DI BLOG SUGITA WIBHUSHAKTI
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

- Copyright © SUGITA WIBHUSHAKTI -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -