Posted by : Unknown Rabu, 23 Oktober 2013

Upacara metatah/ Potong Gigi

Upacara Mapandes bertujuan untuk mengendalikan “sad ripu” dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 4 buah gigi atas dan 2 buah taring (semuanya berjumlah 6 buah). Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah 6 (enam) sifat manusia yang dianggap kurang baik dan sering dianggap sebagai musuh di dalam diri sendiri.
Ke-enam sifat tersebut, yaitu :
  1. Krodha (marah)
  2. Kama (hawa nafsu)
  3. Loba (tamak)
  4. Moha (bingung)
  5. Mada (mabuk)
  6. Matsarya (iri hati)
Demikianlah upacara Mapandes/Matatah, bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan belaka, tetapi mempunyai tujuan yang mulia.
Upakara :
  1. Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
  2. Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal
Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
  1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
  2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka  kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
  3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.
  4. Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).
  5. Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).
  6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  7. Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).
  8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.
  9. Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
Pelaksanaan upacara
Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti :
  1. Pada dahi, diantara kening/selaning lelata
  2. Pada taring kanan
  3. Pada taring kiri
  4. Pada gigi atas
  5. Pada gigi bawah
  6. Pada lidah
  7. Pada dada
  8. Pada nabhi/puser
  9. Pada paha kanan dan paha kiri
Penulisan Rerajahan tersebut sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara.
Setelah diperciki “tirtha pasangihan”, lalu tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh Sulinggih atau orang bertugas untuk itu.
Beberapa Mantra :
  1. Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet.
  2. Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali).
  3. Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH.
  4. Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku.
Catatan
Dalam pelaksanaan upacara Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu : Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur Sanghyang Yama dan Sastra Proktah.
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.
(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).
Setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya.
Dalam lontar Smaradahana, menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri.
Pustaka Tutur Sanghyang Yama, menyebutkan  :
…..yan amandesi wwang durung angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji.
Tetapi dalam lontar Sastra Proktah, ada disebutkan :
iki ling ning sastra proktah, ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati, wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati.
Sedangkan dalam pelaksanaannya dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan :
  1. Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya.
  2. Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi.
  3. Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan).
  4. Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung.

 

{ 1 komentar... read them below or add one }

  1. Cari game poker 1 user id bisa bermain bermacam game berbeda di indonesia,
    Kunjungi situsnya disini* wwwmgmpoker88. com
    Pin BBM : D88FDB2E
    ▽ WA : +85577597038
    ▽ LINE : MGM POKER
    ▽ Skype : mgmpoker
    raja poker

    BalasHapus

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

SELAMAT DATANG DI BLOG SUGITA WIBHUSHAKTI
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

- Copyright © SUGITA WIBHUSHAKTI -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -