Archive for Oktober 2013

Upacara metatah/ Potong Gigi

Rabu, 23 Oktober 2013
Posted by Unknown

Upacara metatah/ Potong Gigi

Upacara Mapandes bertujuan untuk mengendalikan “sad ripu” dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 4 buah gigi atas dan 2 buah taring (semuanya berjumlah 6 buah). Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah 6 (enam) sifat manusia yang dianggap kurang baik dan sering dianggap sebagai musuh di dalam diri sendiri.
Ke-enam sifat tersebut, yaitu :
  1. Krodha (marah)
  2. Kama (hawa nafsu)
  3. Loba (tamak)
  4. Moha (bingung)
  5. Mada (mabuk)
  6. Matsarya (iri hati)
Demikianlah upacara Mapandes/Matatah, bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan belaka, tetapi mempunyai tujuan yang mulia.
Upakara :
  1. Upakara yang kecil : banten pabyakalan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
  2. Upakara yang lebih besar : seperti di atas, tatabannya memakai Pulagembal
Disamping upakara tersebut ada juga perlengkapan yang lain, yaitu :
  1. Upacara dilakukan pada sebuah bangunan (bale), dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar Smara Ratih, dilengkapi dengan selimut (rurub).
  2. Bale gading, dibuat dari bambu gading (yang lain), dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah suci), canang burat wangi, canangsari, raka-raka  kekiping pisang mas, nyanyah gula kelapa dan periuk/sangku berisi air dan bunga 11 jenis. Bale Gading tempat bersemayamnya Sanghyang Smara Ratih.
  3. Kelapa Gading yang dikasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan Aksara Ardhanareswari. Kelapa gading ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai.
  4. Untuk singgang gigi (padangal) adalah 3 potong cabang dadap dan 3 potong tebu malem/tebu ratu (kira-kira 1 cm/1,5 cm).
  5. Pangilap (sebuah cincin berwarna mirah).
  6. Pangurip-urip, adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  7. Sebuah bokor berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pangilap ditaruh di tempat ini, dimikian pula pangurip-urip).
  8. Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, gambir, kapur.
  9. Banten tetingkeb, yang akan diinjak waktu turun, setelah selesai matatah (dapat diganti dengan segehan agung).
Pelaksanaan upacara
Setelah dilakukan upacara mabyakala, maprayascita, lalu bersembahyang kehadapan Sanghyang Siwa Aditya, Sanghyang Smara Ratih, kemudian naik ke tempat upacara (bale), duduk menghadapat ke hulu (luanan). Pimpinan upacara (sangging), mengambil cincin untuk dipakai “ngrajah”, pada beberapa tempat, seperti :
  1. Pada dahi, diantara kening/selaning lelata
  2. Pada taring kanan
  3. Pada taring kiri
  4. Pada gigi atas
  5. Pada gigi bawah
  6. Pada lidah
  7. Pada dada
  8. Pada nabhi/puser
  9. Pada paha kanan dan paha kiri
Penulisan Rerajahan tersebut sesuai dengan Sangging / Pemimpin Upacara.
Setelah diperciki “tirtha pasangihan”, lalu tidur menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya upacara dipimpin oleh sangging, yakni orang yang sudah biasa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “padangal” diganti, ludah serta padangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah kelapa gading”. Bila sudah dianggap cukup rata, lalu diberi “pengurip-urip”, kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan 3 kali), sisanya dibuang dalam kelungah kelapa gading. Sore harinya dilanjutkan dengan upacara natab, yang dipimpin oleh Sulinggih atau orang bertugas untuk itu.
Beberapa Mantra :
  1. Mantra Kikir : OM Sang Perigi Manik, aja sira geger lungha, antinen kakang nira Sri Kanaka, teka kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet awet awet.
  2. Mantra pemotongan gigi pertama : OM lungha ayu, teka ayu (3 kali).
  3. Mantra Pangurip-urip : OM Urip-uriping bhayu, sabda,idep, teka urip, ANG AH.
  4. Mantra lekesan : OM suruh mara, jambe mara, tumiba sira maring lidah, Sanghyang Bhumi Ratih ngaranira, tumiba sira ring hati, Kunci Pepet ngaranira,katemu-temu dlaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan, Sanghyang Sumarasa aranira, wastu kedep mantrangku.
Catatan
Dalam pelaksanaan upacara Matatah/Mapandes, ada beberapa Pustaka yang menjadi pegangan, yaitu : Lontar Kala Tattwa, Lontar Smaradahana, Puja Kalapati, Tutur Sanghyang Yama dan Sastra Proktah.
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.
(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).
Setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, agar Bhatara Kala memotong taringnya terlebih dahulu, setelah itu akan bertemu dengan harapannya.
Dalam lontar Smaradahana, menceritrakan kelahiran Bhatara Ganesha dan nantinya dapat mengalahkan raksasa Nilarudraka dengan patahan taringnya. Sedangkan dalam pustaka Puja Kalapati, disebutkan bahwa gigi yang dipotong adalah 4 gigi seri dan 2 taring (lambang sad ripu). Jika tidak dipotong akan menyebabkan mala dan berbadankan Kala. Jika masih berbadankan Kala maka para Dewa tidak akan menampakkan diri.
Pustaka Tutur Sanghyang Yama, menyebutkan  :
…..yan amandesi wwang durung angrajasawala, padha tan kawenang, amalat raray ngaranya, tunggal halanya ring wwang angrabyaning wwang durung angrajasawala, tan sukramakna ring jagat magawe sanghar nagaranira sri aji.
Tetapi dalam lontar Sastra Proktah, ada disebutkan :
iki ling ning sastra proktah, ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, haywa amandesi wwang pejah, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yan mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang wwang mati, wehing sopakaraning wwang mahurip, tunggal halanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de bhatara Yamadipati.
Sedangkan dalam pelaksanaannya dan sudah berdasarkan keputusan Kesatuan Tafsir dan Paruman Sulinggih, hal itu dapat dilangsungkan asalkan :
  1. Yang bertindak sebagai Sangging hendaknya orang tuanya/pamannya.
  2. Alas tumpuan Sangging adalah lesung/padi.
  3. Tangan Sangging digelangi dengan uang kepeng (penebusan).
  4. Pengganti kikir adalah ani-ani (anggapan/ketam) atau bunga tunjung.

 

Tata Cara Membuat Bangunan Suci



Setiap pendirian bangunan suci, seperti : Sanggah Pamarajan dan Pura, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh, yaitu :

  1. Upacara Pangruwak
  2. Upacara Nasarin
  3. Upacara Mamakuh
  4. Upacara Mlaspas
  5. Upacara Mapadagingan
  6. Upacara Ngenteg Linggih
  7. Upacara Piodalanselengkpanya
Upacara Pangruwak
Upacara Pangruwak adalah upacara permohonan kehadapan para bhuta kala yang menempati tanah tersebut, agar berkenan tanah tersebut untuk dijadikan tempat pendirian bangunan. Apabila upacara ini tidak dilakukan, ada keyakinan akan mendapatkan gangguan dari para bhuta kala atau roh-roh halus penghuni tanah tersebut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali disebut dengan Pamali.
Upakara yang dipersembahkan berupa caru Eka Sata, yakni ayam berumbun, dengan perlengkapannya menurut ajaran sastra. Salah satu sastra yang menguraikan hal itu disebut Lontar Bhama Kertih.
Dalam lontar tersebut diuraikan, sebagai berikut :
Caru ayam brumbun, urip 33, pakalahyangan, sesayut durmanggala, prayascita, yang dipersembahkan kepada Sang Bhuta Bhuwana. Segehan Agung, dilengkapi dengan tetabuhan, dipersembahkan kepada sang Bhuta Dengen.
Dilanjutkan dengan mengukur lokasi bangunan tersebut dengan ketentuan Asta Kosala, Asta Dewa, Asta Bhumi, Asta Patali, sesuai dengan kegunaannya.
Setelah itu barulah dilanjutkan dengan persembahyangan bagi para penyungsung tempat suci itu. Semua bunga, kawangen yang dipergunakan untuk sembahyang dikumpulkan, untuk ikut dijadikan dasar.
Upacara Nasarin
Upacara Nasarin atau peletakan batu pertama, sesuai dengan sastra yang disebut di atas, sebagai berikut :
  1. Dasar pertama dengan Bata Bang  atau batu bata merah, yang bergambarkan Badawangnala, dengan wijaksara ANG.
  2. Klungah Kelapa Gading makasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan wijaksara OM kara. Dilengkapi dengan wangi-wangi, lengawangi, buratwangi, dedes, kawangen kraras, uangnya 11 kepeng, dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang 4 warna (lawe catur warna). Di pucaknya kawangi dengan uangnya 33 kepeng (urip bhuwana), canang satangkep, tumpeng bang adanan, iwak (daging) ayam biying yang dipanggang, lem\ngkap dengan buah-buahan. Jugjugin (tancapkan) dengan keris/dahan (carang) dadap, simbul lanang (purusa). Setelah itu baru dipergunakan sebagai dasar.
  3. Di atas upakara tadi, ditindih dengan bata bang (batu bata merah), bertuliskan Dasaksara. Lalu ditindih dengan batu hitam (batu bulitan), yang bertuliskan Tri Aksara ANG UNG MANG.
  4. Yang paling atas adalah sebuah kawangen, dengan uangnya 11 kepeng, yang bertuliskan OM karamertha..
Perincian upacara yang tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan dengan Tattwa atau sistim filsafat Hindu, tentang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
Mamakuh
Apabila bangunan tersebut telah selesai dibangun, dilanjutkan dengan upacara Mamakuh. Dalam upacara ini yang penting, adanya upakara yang disebut Pangurip-urip, yang terdiri : kapur (apuh), warnanya putih; darah (rah), warnanya merah; arang (areng), warnanya hitam dan asaban cendana, warnanya kuning.
Upacara ini bertujuan untuk merubah benda-benda mati, yakni bahan-bahan yang digunakan, untuk dihidupkan dan disucikan.
Dalam pelaksanaanya, yang dipasang pertama adalah kapur, sebagai lambang Siwa, yakni dewa pelebur, melebur segala yang kotor, menjadi bersih/suci. Yang ke dua, adalah darah dengan warna merah, sebagai lambang Brahma, yakni dewa Pencipta (Utpeti); yang ke tiga adalah arang, warna hitam, lambang dewa Wisnu, sebagai dewa Pemelihara (Sthiti); dan asaban cendana, dengan warna kuning, lambang dewa Mahadewa, sebagai lambang kesuburan/kebahagiaan. Disamping itu adanya pemasangan Pangulap-Ulap, yakni secarik kain putih yang bergambar sesuai dengan bentuk dan fungsi bangunan tersebut.
Jadi upacara Mamakuh, berfungsi untuk menyucikan segala kekotoran dan merubah benda mati untuk menjadi hidup.
Upacara Mlaspas
Setelah upacara Mamakuh dilanjutkan dengan upacara  Mlaspas, yakni upacara penyucian tingkat lanjut. Upacara ini ditandai dengan pamasangan Orti. Orti lambang kebahagiaan/ketenangan dan juga berarti kesuburan (orti-wresti = hujan).
Upacara Mapadagingan
Untuk bangunan suci, upacara ini amat penting, karena tanpa upacara Mapadagingan, bangunan tersebut atau pelinggih itu bukanlah rumah dewa (dewagreha), melainkan rumah setan (paisacha greha). Mapadagingan juga disebut dengan Mulang Panca Dhatu (lima logam mulia), seperti : pripih perak, warna putih, lambang dewa Iswara; pripih tembaga, warna merah, lambang dewa Brahma; pripih mas, warna kuning, lambang dewa Mahadewa; pripih besi, warna hitam, lambang dewa Wisnu dan permata (suasa) , panca warna, lambang dewa Siwa.
Fungsi upacara Mapadagingan, adalah  menyucikan bangunan tersebut dalam tingkat lanjut, agar para dewa (Panca Brahma Dewata), perkenan bersinghasana pada pelinggih tersebut.
Setelah pelinggih itu diisi dengan Padagingan, para dewata  dilinggakan (dewa pratistha), barulah bangunan itu sebagai media sembahyang.
Ngenteg Linggih
Dengan upacara Mapadagingan itu dan dewa pratistha, dilanjutkan dengan Ngenteg Linggih, dengan harapan dewata yang dilinggakan, selalu berkenan menganugrahkan keselamatan kepada para penyiwinya.. Dalam rangkaian upacara ini, ada disebutkan : upacara Ngremekin, yakni 3 hari setelah itu, dengan tujuan menghilangkan segala bentuk kekotoran, pada pelinggih-pelinggih tersebut (angilangaken sebel kandel letuh regede ring parhyangan bhatara sowang-sowang).
Setelah hari ke 11, dilanjutkan dengan Makebat Daun, yang disebut juga mapasaran, yakni suatu prosesi upacara, bagaikan para dewata ke pasar, yang disebut Pasar Keling, sesuai dengan bunyi Pajejiwan (Mapaselang). Lalu upacara Ngebekin, yakni lambang apa-apa yang didapat dari Pasar Keling, untuk dianugrahkan kepada para penyiwi (ngebatin olih-olihan idane rawuh saking Pasar Keling). Setelah berlangsung 42 hari (bulan pitung dina), ada upacara Nyenukin, dengan tujuan  agar para dewa menganugrahkan keselamatan, kemakmuran dan ketenangan kepada umat    (mangda ebek kang amertha ring jagate, landuh, kawiryan, kawibawan, malarapan antuk rarapan saking Pasar Keling, kapaica ring jagate, mwah sakalwir tinandur nadi =  Lontar Kusumadewa Tattwa).
Semua rangkaian upacara yang tersebut di atas dapat disebut dengan Karya; Karya ini yakni pada saat Mapadagingan/Mlaspas, biasanya dijadikan suatu peringatan yang disebut dengan Piodalan (hari lahir)..
Caru Resi Gana
Caru Resi Gana, adalah salah satu jenis caru yang istimewa, karena bahan yang digunakan berbeda dengan caru yang lainnya, yakni menggunakan seekor itik putih dan tidak menggunakan sate, sebagai perlambang urip. Tetapi dalam beberapa sumber ada juga menyebutkan, yakni tidak menggunakan itik putih, melainkan itik biasa (sebulu-bulu).
Dalam pengolahannya, memakai layang-layang, tidak menggunakan  sate (jejatah), serta olahan jejeron, sesuai dengan fungsinya. Dilengkapi dengan sega (nasi) 9 pangkon, alasnya tamas besar, dengan daun nagasari,  9 helai daun, masing-masing ditulisi dengan wijaksara, mulai dari tengah, ke timur dan mider tengen, yakni : OM ANG GA NA RE SI BHYO NAMAH, artinya : Ya Tuhan yang berwujud Resi Gana yang kami hormati. Caru ini diletakkan pada sebuah lubang yang telah ditentukan dengan dialasi tepung, dengan gambar Padma Asta Dala, dengan tulisan Dasaksara :SA BA TA A I NA MA SI WA YA.. Menggunakan sanggar tutuhan, dengan penjor bambu gading, dengan kober 2 buah, dengan gambar Sanghyang Gana, dengan atribiut membawa Genta (bajra) dan yang satu lagi membawa Gada, dilengkapi dengan satu tangkai daun beringin, yang bergambarkan Cakra.
Pada dasarnya Caru ini  untuk menyucikan karang angker, seperti ada orang mati salah pati, kalebon amuk, disambar petir atau bahaya-bahaya yang lain baik dari alam maupun dari Bhuta Kala.
Hakekatnya adalah pemujaan kepada Sanghyang Gana, sebagai dewa penolak bahaya, sehingga disebut Hyang Awighneswara. Konsep dasar dari caru ini adalah bertitik tolak dari konsepsi Siwa Sidhanta, yang menadi Ista Dewata adalah Sanghyang Gana, putra dewa Siwa
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/tata-cara-membuat-bangunan-suci.html

Makna Udeng ( Destar )

Udeng adalah sehelai kain yang biasanya diikatkan di kepala laki - laki dengan bentuk dan corak berwarna - warni sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(1) Cakrawayu Peduli Bali, lekukan udeng memiliki makna :
  • Lekuk dikanan lebih tinggi daripada dikiri berarti hendaknya kita lebih banyak melakukan hal yang baik (dharma) dari pada berbuat buruk (adharma)
  • Ikatan ditengah - tengah kening bermakna memusatkan pikiran kita.
  • Ujung keatas melambangkan Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan menggunakan udeng secara garis besarnya disebutkan hendaknyalah kita selalu berbuat yang baik sehingga nantinya kita dapat bersatu dengan beliau (moksa).

Sedangkan udeng yang tertutup dan ikatan dibelakang yang boleh memakai udeng ini sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(2) Cakrawayu Peduli Bali, adalah pinandita (sulinggih) yaitu orang yg sudah mewinten atau Samkara Eka jati dan udeng seperti ini sering disebut dengan ''mebongkos nangka''.
 
Dalam ranah kadiatmikan, sebagaimana disebutkan dalam salah satu komentar(3) Bhakti Manawa Wedanta, udeng juga melambangkan panunggalan tri nadi! Artinya dalam persepsi masyarakat spiritual Bali, selaning lelata adalah pertemuan dari Tri Nadi itu, 
  • Ida, 
  • Pinggala, 
  • Sumsumna
Keseimbangan spiritual manusia ada di titik tengah itu.. Disanalah sebaiknya simpul udeng di taruh. 

Udeng sebagai kelengkapan busana adat bali dan sembahyang sebagaimana juga disebutkan dalam kutipan salah satu komentar3 Bhakti Manawa Wedanta, udeng memiliki simbol ketuhanan orang bali yang menyatukan Tri Murti dalam simpul "nunggal", 
  • Tarikan ujung kain kanan melambangkan Wisnu, 
  • Tarikan ujung kain kiri melambangkan Brahma, 
  • Ujung kain diatas yang ditarik kebawah melambangkan Siwa, 
Artinya orang bali menuhankan Tri Murti sebagai satu kesatuan yang utuh dalam perlambang udeng yang digunakan.

Demikianlah disebutkan makna dan pengertian dari penggunaan udeng yang digunakan sehari - sehari sebagai kelengkapan pakaian adat dan budaya di Bali.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/makna-udeng-destar.html

Makna Persembahyangan

Sembahyang adalah salah satu hakekat inti dari ajaran Hindu Dharma. Setiap orang yang mengaku beragama, ia pasti melakukan sembahyang karena sembahyang menurut ajaran agama bersifat wajib atau harus.

Sembahyang intinya adalah iman atau percaya sehingga semua tingkah laku atau perbuatan, pikiran dan ucapan sebagai perwujudan dalam bentuk “bhakti” hakekatnya bersumber pada unsur iman (sraddha) yang salah satunya dengan cara sembahyang.

 Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu;
  • Sembah yang berarti 
    • Sujud atau sungkem, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran.
  • Hyang yaitu 
    • Yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu : Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.

Didalam bahasa sehari-hari, orang bali sering juga menyebut kata sembahyang dengan sebutan:
  • Muspa, karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan jalan persembahan kembang (puspa).
  • Mebakti, dinamakan demikian karena inti persembahan itu adalah untuk memperlihatkan rasa bakti (bhakti) atau hormat setulus-tulusnya dengan cara mencakupkan kedua belah tangan atau cara lain yang dapat diartikan sama sebagai penyerahan diri setulus hati kepada yang dihormati atau Tuhan Yang Maha Esa.
  • Maturan, yang artinya menyampaikan persembahan dengan mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai menurut kemampuan dengan perasaan tulus ikhlas, seperti buah, kue, minuman dll.
Didalam bhagawadgita, yoga atau Samadhi dinyatakan sebagai salah satu bentuk persembahyangan yang dapat pula dilakukan oleh orang yang menganut ajaran sanatha dharma (hindu) dengan melakukan “tri sandhya”.

Sembahyang atau yadnya mempunyai fungsi dan kedudukan sangat penting dalam kehidupan beragama. Ini ditegaskan oleh kitab weda smerti sebagai berikut;

“wedoditam swakam karma nityam kuryadatandritah, Taddhi kurwanyathasakti prapnoti paranam gatim” (Manawa Dharmasastra IV, 14)

Hendaknya tanpa kenal lelah melakukan yadnya yang ditentukan untuknya dalam weda, karena ia yang melaksanakan semua itu menurut kemampuan mencapai kedudukan kejiwaan paling tinggi.

Dengan menggariskan ketentuan yang ditegaskan adanya penyesuaian kemampuan menurut kemampuan atau relative tidaklah mutlak untuk melakukan yadnya melebihi kemampuan karena dengan melebihi kemampuan berarti bertentangan pula dengan weda. Demikian dijelaskan pengertian tentang "sembahyang" dalam Forum Diskusi Hindu Nusantara (Facebook), ref)

Sebelum melakukan sembahyang, setelah duduk dan situasi tenang, maka Mantram Penyucian Badan dan Sarana Sembahyang disebutkan sebagai awal dari persembahyangan.

Dalam tuntunan sembahyang melalui sebuah keyakinan yang bersumber pada sraddha kita yang disebutkan sebagai berikut :
  • Makna dan Tujuan dari persembahyangan :
    • Untuk menghormati dan mengagungkan kebesaran sifat Tuhan Yang Maha Esa, selaku pencipta dan penguasa alam semesta.
    • Sebagai pengakuan diri bahwa pada hakikatnya manusia adalah mahluk yang sangat lemah.
    • Sebagai permohonan maaf dan pengampunan atas segala dosa yang pernah dilakukan dalam hidupnya.
    • Menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas segala waranugraha-Nya.
    • Memohon perlindungan-Nya agar dijauhkan dari segala bahaya maupun cobaan hidup.
    • Menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.   
  • Pura sebagai tempat sembahyang atau pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya. 
  • Macam-macam Persembahyangan :
    • Menurut waktu pelaksanaan.
      • Nitya Kala, yaitu sembahyang yang dilaksanakan 3 (tiga) kali sehari.
      • Naimitika Kala, yaitu persembahyangan yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu.
    • Menurut bentuk pelaksanaannya.
    • Persembahyangan bersama dengan dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan bersama tanpa dipandu puja Sulinggih.
    • Persembahyangan perorangan.  
  • Persyaratan Sembahyang
    • Persyaratan lahir (sakala, wahya) :
      • Bersihkan badan dengan mandi. Boleh juga mandi dengan air kumkuman.
      • Berpakaian yang bersih dah sopan.
      • Sarana persembahyangan yang dipakai supaya baik, misalnya : Bunga yang harum dan segar, dupa yang harum serta kwangen.
      • Tempat persembahyangan yang bersih dan bersuasana tenang. 
    •  Persyaratan bathin (niskala, adyatmika) :
  • Rasa tulus ihklas dalam melaksanakan sembahyang.
  • Kesadaran bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan.
  • Bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh.
  • Kesadaran melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan kesejahtraan mahluk serta alam semesta.
  • Meyakini ajaran Tat Twam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama.
    • Sikap Sembahyang
      • Sikap tangan.
      • Sikap tangan pada waktu Tri Sandhya. Mengambil sikap Devapratistha atau Amusti Karana yaitu kedua ibu jari tangan dipadukan dengan telunjuk tangan kanan (berbentuk “kojong”) atau kedua ibu jari tangan kanan dan kiri dipertemukan/ditempelkan sedangkan jari-jari tangan yang lain saliang bertumpukan diatas ulu hati.
      • Sikap tangan pada waktu melaksanakan kramaning sembah. Sikap tangan pada waktu melaksanakan persembahyangan/kramaning sembah yaitu kedua belah telapak tangan dicakupkan dan diangkat keatas ubun-ubun.
      • Sikap badan pada waktu sedang sembahyang.
      Bila memuja dalam sebuah Pura, Sanggah Pamrajan dan sebagainya dilakukan dengan cara duduk. Bagi kaum pria dengan sikap Padmasana (Silasana) sedangkan sedangkan bagi kaum wanita dengan sikap Bajrasana (bersimpuh). Ada lagi sikap-sikap yang lain misalnya bagi yang sakit mengambil sikap Sawasana. Selanjutnya apabila kondisitempat tidak memungkinkan untuk duduk maka dapat dilaksanakan dengan mengambil sikap Padasana (berdiri). 
Sebagai selah satu kelengkapan sembahyang, penggunaan udeng disebutkan memiliki simbol ketuhanan dalam simpul yang "nunggal".
Demikianlah pengertian dan makna sembahyang kepada Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi kemahakuasaan-Nya agar menemukan suasana kedamaian lahir dan bathin.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/makna-persembahyangan.html

Bunga Yang Baik Di Pakai Sembahyang

Bunga; "kembang" atau "sekar" yang digunakan sebagai sarana sembahyang dan upacara yadnya disebutkan adalah lambang kesucian, sehingga diusahakan bunga seperti berikut :
  • Segar, 
  • Bersih, dan 
  • Harum, 
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan artikel kramaning sembah dalam parisada, ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang, menurut Agastyaparwa, bunga-bunga tersebut seperti berikut: 
Nihan Ikang kembang yogya pujakena ring bhatara
  • kembang uleran, 
  • kembang ruru tan inunduh, 
  • kembang laywan, 
  • laywan ngaranya alewas mekar, 
  • kembang munggah ring sema, 
  • Nahan talwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.  
Artinya: Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, 
  • bunga yang berulat, 
  • bunga yang gugur tanpa digoncang, 
  • bunga-bunga yang berisi semut, 
  • bunga yang layu, yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, dan
  • bunga yang tumbuh di kuburan. 
Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik-baik yang juga dalam penjelasan lontar Kunti Yadnya, Bunga Mitir dinyatakan tidak patut dipersembahkan sebagai sarana upacara Dewa Yadnya.

Sebagai tambahan, untuk Mantram Penyucian Bunga, disebutkan : "Om puspa dantà ya namah swàha", artinya: Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci.

Dalam pengembangan aspek relegi pertamanan tradisional Bali, dijelaskan beberapa jenis bunga yang baik dipakai dalam persembahyangan sesuai dengan warna dari masing-masing Dewa yang disesuaikan dengan warna bunga yang dipilih sesuai dengan Asta Dala dan baunya harum seperti :
  • Dewa Wisnu : bunga kenanga atau teleng, 
  • Dewa Brahma : bunga mawar merah, teratai biru, bunga soka, kenyeri, kembang kertas merah, 
  • Dewa Iswara : bunga teratai putih, jepun atau kamboja petak (putih), cempaka putih. 
  • Dewa Mahadewa : bunga teratai kuning, cempaka kuning, kembang kuning atau alamanda. 
Demikianlah disebutkan bunga utawi sekar yang digunakan dalam persembahyangan dan yadnya. 
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/bunga-yang-baik-di-pakai-sembahyang.html

Bunga Mitir Darah Betari Durga

Bunga Mitir yang sering digunakan dalam canang sari maupun dalam upacara yadnya menurut petunjuk lontar Kunti Yadnya sebagaimana disebutkan dalam artikel bunga mitir darah Bhatari Durga, dinyatakan bahwa bunga mitir berasal dari darah Bhatari Durga sehingga bunga mitir ini dinyatakan tidak patut dipersembahkan sebagai sarana Dewa Yadnya.
Akan tetapi dijelaskan pula setelah mendapat penyupatan oleh Dewa Siwa, seperti yang dinyatakan dalam Lontar Aji Janantaka, boleh dipakai akan tetapi yang kembangnya bagus, kembang yang utuh, bukan kitir-kitir (kembang yang tidak sempurna) serta berwarna kekuning-kuningan. 
Selain itu, sebaiknya mitir tidak digunakan sebagai bunga untuk tirta atau memercikkan tirta karena bunga ini cepat busuk bila kena air.
 
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/bunga-mitir-darah-betari-durga.html

Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

Pendahuluan
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalahyadnya yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.  

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.
Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.
Tattwa
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut.  Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Susila
`     
      Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Upacara
Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai berikut.
(1)   Tingkah laku atau perbuatan yang baik;
(2)   Adat istiadat;
(3)   Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.
Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.
Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:
nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/tiga-kerangka-dasar-agama-hindu_22.html
13. Disiplin Moral Dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting-Insting Destruktif Print E-mail
Sepuluh Disiplin Moral Sang Yogi Yama terdiri dari Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, dan Aparigraha; semuanya merupakan ‘sumpah-sumpah universal yang agung’. Sementara itu, Sauca, Santosa, Tapa, Svadhyaya, Isvara pranidhana adalah Niyama. [YS II.30 - II.32]
Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra II.40 sampai dengan II.45.
Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga dimungkinkan oleh kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga, Yama-Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali.
Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting Destruktif.
Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka), hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa bhavana). Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha), kemurkaan (krodha), ataupun kebingungan karena mabuk (moha), apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya), ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan. Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan (pratipaksa bhavana) ini.
[YS II.33 dan II.34]
Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan insting-insting distruktif kita. Metode ini dikembangkan atas fakta bahwa ‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’. Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif, yang menunjang pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi).
Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa. Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini memungkinkan? Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah mengakar kuat, karena dibawa sejak beberapa kelahirannya yang lampau.
Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau kegandrungan terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan, langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi ‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses itu, kemelekatan, kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.
Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan, kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini, akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya yang paling logis.
Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini, serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan Niyama diketengahkan disini dengan penekanan yang kuat. ‘Jauh lebih baik menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci dari Yama-Niyama.
Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin, sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan, maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di dalam meraih keberhasilannya.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=93
34. RAJA YOGA ~ Dasar-dasar Pemahaman dan Petunjuk-petunjuk Praktis bagi para Penekun Print E-mail
Disebutkan bahwasanya penemu dari Yoga klasik adalah Hiranyagarbha Sendiri. Adalah Maharishi Patanjali yang memformulasikan pengetahuan ini dalam suatu sistem pengajaran yang diberi nama Ashtanga Yoga atau Raja Yoga. Ini membentuk salah-satu dari Shad-Darsana, Enam Sistem Filsafat Hindu Klasik. Vyasa telah menjelaskan Yoga Sutra Patanjali dan ini telah berhasil dikembangkan lebih jauh lagi oleh seorang pujangga terpelajar yang cemerlang bernama Vachaspati Mishra, serta melalui tulisan-tulisan yang mengagumkan dari Vijñana Bhikshu.
=== SRI SWAMI SIVANANDA SARASVATI
=== FILOSOFI DARI YOGA.

Yoga, sepaham dengan Sankhya; mereka memegang pandangan dimana ada suatu prinsip yang bersifat kekal dan hadir dimana-mana, yakni Prakriti disamping suatu prinsip pluralitas dari Kesadaran yang juga ada dimana-mana, yakni Purusha. Yoga juga menerima prinsip ketiga yakni: Ishvara. Kontak antara Purusha dengan Prakriti inilah menimbulkan evolusi lanjut dalam berbagai implikasinya. Purusha —karena Aviveka (tiada berkemampuan untuk membedakan)— menyangka ada suatu individu ketika mengidentifikasi Prakriti beserta berbagai modifikasinya itu.
Yoga menitik-beratkan pada metode pembebasan Purusha dari belenggu ini, melalui upaya yang benar. Oleh karena itu, Yoga lebih merupakan metode praktis guna pencapaian, ketimbang suatu paparan filosofis semata. Sebagai suatu sistem filsafat (Darsana), ia merupakan Sa-Ishvara Sankhya, yaitu dengan memasukkan ke-duapuluhlima Tattva dari Sankhya serta menambahkan satu lagi yakni: Ishvara. Dengan demikian, Yoga melengkapi karakteristiknya sebagai suatu sistem Sadhana yang bersifat praktis.
Ketika diselubungi oleh tembok penghalang kebodohan (Aviveka), Purusha menyangka bahwa Ia tidak sempurna, tak-lengkap, dan menyangka kalau kelengkapan itu hanya dapat dicapai melalui penggabungannya dengan Prakriti. Purusha lalu —katakanlah demikian—mulai menggapai Prakriti; dan dengan disinari oleh kesadaran-Nya, Prakriti yang tiada berdaya (lembam) mulai mempertunjukkan berbagai objek-objeknya secara kaleidoskopis. Purusha, disebabkan oleh Prakriti-Samyoga—penyamaan-diri dengan Prakriti, tampak ingin merasakan kenikmatan dari objek-objek ini. Ia berbuat seperti yang sudah-sudah; tampak berupaya meraih objek-objek tersebut. Kini belenggu—walaupun sesungguhnya tidak esensial bagi Purusha—menjadi lengkap dan selanjutnya lingkaran visi serupa itu tersimpan terus. Transmigrasi dari masing-masing individu, seperti itu, adalah konsekwensi dari Aviveka beserta segala efek-efeknya. Yoga, melalui proses ilmiahnya, memotong lingkaran ini satu-per-satu dan mengantarkan menuju Kaivalya Moksha, yang merupakan realisasi dari Purusha (sejati), yang bebas dari Prakriti beserta segenap evolusinya.
Jauh dalam lubuk hati setiap orang, ada suatu keyakinan yang mendalam akan adanya Makhluk Tertinggi, kepada siapa seorang Sadhaka berpaling untuk memohon bantuan dan bimbingan, perlindungan maupun inspirasi. Namun sang ego tidak mengijinkan ini terjadi. Hanya dengan cara melepaskan Purusha dari penjara sang ego saja, Purusha dapat dilepaskan dari jaring Prakriti. Sang ego memang dengan bersusah-payah bisa ditundukkan melalui analisa subjektif saja; akan tetapi adalah mudah untuk membedakan ego—yang terpisah dari Purusha—bila ia dengan suka-rela menyerahkan-dirinya sebagai suatu persembahan pada altar-persembahan kepada Yang Maha Kuasa; inilah Ishvarapranidhana. Inilah hipotesa dari Yoga, sebagai tambahan dari nasehatnya agar berupaya dengan gigih (Sadhana-Marga).
YOGA SUTRA PATANJALI — Untaian Permata Mulia Spiritual-filosofis.
Raja Yoga adalah raja dari semua Yoga. Ia secara langsung berurusan dengan batin. Dalam Yoga ini tidak ada perjuangan dengan Prana maupun jasmani (Apana). Tidak diperlukan lagi kriya-kriya dari Hatha Yoga. Sang Yogi duduk dengan sederhana, memperhatikan dan mententeramkan gelembung-gelembung pemikirannya. Beliau mengheningkan-cipta, menjinakkan gelombang pikiran dan memasuki kondisi tanpa-pemikiran (thoughtless state) atau Asamprajñata Samãdhi; itulah Raja Yoga.
Walaupun Raja Yoga merupakan suatu falsafah dualistika yang mengolah Prakriti dan Purusha, ia membantu siswa Advaitik untuk merealisasikan penunggalannya. Walaupun diingatkan tentang keberadaan Purusha, pada puncaknya Purusha menjadi identik dengan Purusha Tertinggi (Parama Purusha) atau Brahman, seperti yang disebutkan dalam Upanishad-upanishad. Raja Yoga mendorong siswa untuk mencapai tingkatan tertinggi di tangga spritual, yakni Brahman.
Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah sutra berupa sebuah sloka pendek yang padat makna. Ia berupa ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikasi-signifikansi tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala punya suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya, hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Amat sulit mengertikan maksud yang terkandung didalam sutra-sutra, tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik. Seorang Yogi yang sepenuhnya telah merealisasikan Yoga, akan mampu menjelaskan sutra-sutra dengan indahnya. Secara harfiah, sutra juga berarti sebuah untaian. Layaknya berbagai bunga beraneka warna yang dirangkai secara apik, dan membentuk sebuah rangkaian bunga. Seperti juga mutiara-mutiara yang diuntai menggunakan seutas tali untuk membentuk sebuah kalung, demikian pula halnya ide-ide dari Sang Yogi teruntai cantik dalam sutra-sutra.
Yoga Sutra disusun dalam beberapa bab. Bab pertama adalah Samãdhi-pãda. Ia memaparkan beberapa jenis Samãdhi. Ia berisikan 51 Sutra. Hambatan-hambatan dalam meditasi, lima bentuk Vritti (pusaran pikiran) dan cara mengendalikannya, tiga bentuk Vairagya, sifat-sifat dari Ishvara, berbagai metode untuk mencapai Samãdhi serta cara untuk menghadirkan kedamaian hati melalui pengembangan sifat-sifat luhur, juga dipaparkan disini.
Bab kedua adalah Sãdhana-pãda. Ia terdiri atas 55 Sutra. Ia memaparkan Kriya Yoga, seperti, Tapa, ajaran penyerahan-diri pada Tuhan, lima Klesha atau noda-noda batin, metode-metode untuk menghancurkan noda-noda yang menghalangi pencapaian Samãdhi ini, Yama dan Niyama beserta hasil-hasilnya, praktek Āsana dan Pranayama beserta manfaat-manfaatnya, Pratyahara serta keuntungan yang diperoleh, dll.
Bab ketiga adalah Vibhuti-pãda. Ia terdiri dari 56 Sutra. Ia menyangkut Dharana, Dhyana serta berbagai bentuk Samyama pada objek-objek eksternal, pikiran, chakra-chakra internal serta beberapa objek lain, yang dapat menghadirkan berbagai macam Siddhi.
Bab ke-empat adalah Kaivalya-pãda atau bab Kebebasan Sejati, yang tersusun dari 34 Sutra. Ia memaparkan tentang kebebasan yang dicapai oleh seorang Yogi yang telah matang (full-blown Yogi), yang telah dapat membedakan dengan baik mana Prakriti dan mana Purusha, yang telah terpisah dari Tri Guna. Ia juga memaparkan tentang pikiran dan prilakunya. Dharmamegha Samãdhi juga dijelaskan disini.
KONDISI-KONDISI BATIN DALAM PRAKTEK RAJA YOGA.
Raja Yoga memberikan perhatian khusus terutama pada batin, modifikasi-modifikasinya dan pengendaliannya. Ada lima kondisi batin yakni, Kshipta, Mudha, Vikshipta, Ekagra (Ekagrata) dan Niruddha. Umumnya pikiran—yang adalah proponen batin yang paling aktif—berlarian ke segala arah; sinar-sinarnya terpencar dan kacau. Inilah yang disebut dengan kondisi Kshipta. Terkadang batin lupa diri, ia dipenuhi oleh kedunguan (Mudha). Ketika Anda berlatih berkonsentrasi, pikiran tampak dapat terpusat sejenak, namun cepat terganggu lagi. Kondisi batin inilah yang dinamakan Vikshipta. Akan tetapi bila ia bertahan lebih lama dan telah dilatih secara berulang-ulang, dan dibantu dengan merafalkan Nama Tuhan, ia menjadi terpusat pada satu titik. Keterpusatan inilah yang disebut kondisi Ekagrata. Nantinya, iapun sepenuhnya terkendali—Niruddha. Ia siap untuk tercerap dalam Parama Purusha, ketika Anda memasuki Asamprajñata Samãdhi.
Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-sifat luhur —Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang semuanya dalam sikap-batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna (rasa belas-kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang. Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda, berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina, pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha (stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan mencapai kedamaian hati.
NODA-NODA BATIN.
Lima Noda batin yang merupakan sumber penderitaan adalah:
1. Avidya — kebodohan batiniah: memandang kekal yang tak-kekal, murni yang tak murni;
2. Asmita — egoisme;
3. Raga —keterikatan atau kecintaan;
4. Dvesha —ke-engganan, penolakan atau kebenciaan; dan
5. Abhinivesha —keterikatan yang kuat pada kehidupan rendah, yang menimbulkan ketakutan yang amat sangat pada kematian.
Samãdhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha,  rasa suka-tak-suka, punya lima kondisi: Udara (termanifestasikan sepenuhnya), Vicchinna (tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta (tidak aktif ) dan Dagdha (terbakar musnah).
• Pada manusia duniawi yang masih terlelap dalam keduniawian, Raga dan Dvesha merupakan Udara Avastha. Mereka ada dalam kondisi yang meluas; maksudnya, Raga dan Dvesha bermain secara penuh dan tanpa tendeng aling-aling lagi.
• Vicchinna Avastha adalah kondisi dimana Raga dan Dvesha tersembunyi. Pasangan suami-istri terkadang bertengkar; saat itu cinta tersembunyi sejenak. Setelah si istri tersenyum kembali, cintapun menampakkan dirinya lagi. Inilah contoh dari Vicchinna Avastha.
• Beberapa orang yang melakukan sedikit Pranayama, Kirtan dan Japa. Pada mereka Raga dan Dvesha mulai menipis; kondisi inilah yang dinamakan Tanu Avastha.
• Terkadang pula, berhubung kondisinya tidak sesuai, mereka dalam kondisi tidak aktif —Prasupta Avastha.
• Namun dalam Samãdhi mereka terbakar musnah —Dagdha.
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini. Pikiran (manas) adalah suatu kekuatan yang tidak memiliki suatu entitas nyata, namun sementara waktu seolah-olah demikian, dan menyelubungi Jiva. Ia mengatasi Prana. Ia juga mengatasi materi. Akan tetapi di atas pikiran ada kemampuan memilih dan memilah-milah (Viveka). Viveka dapat mengendalikan pikiran; kerinduan terhadap Diri-Jati Anda atau Atma-Vichara dapat mengendalikan pikiran. Bilamana Anda telah menghancurkan Raga-Dvesha lewat meditasi dan Samãdhi, pikiran akan sirna (tiada berdaya lagi). Yang mesti Anda upayakan setiap hari adalah melatih konsentrasi ke dalam (dharana), walau hanya lima atau sepuluh menit; Andapun akan mampu mengendalikan pikiran dan memasuki alam Samãdhi.
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEDITASI.
Ada beberapa hambatan dalam bermeditasi. Vedanta menguraikan hambatan-hambatan tersebut berupa: kerisauan (laya), pikiran yang cepat berubah (vikshepa), keinginan-keinginan terselubung (kashaya) dan keterjebakkan dalam kebahagiaan yang timbul dalam Samãdhi yang lebih rendah tingkatannya (rasasvada).
Patanjali mengutarakan: “Penyakit, kebodohan, keragu-raguan, kecerobohan, kemalasan, keduniawian, ilusi, kehilangan tujuan, ketidak-stabilan mental —semua itu merupakan hambatan-hambatan dalam Yoga.” Duka-cita, kemurungan, gemetaran (tremor), tarikan dan hembusan nafas yang tidak wajar merupakan pembantu-pembantu yang lebih menguatkan hambatan-hambatan utama itu. Anda harus menyingkirkannya terlebih dahulu.
Bila Anda dikuasai kantuk tatkala bermeditasi, berdirilah, basuh muka dengan air dingin, lakukan beberapa Āsana dan Pranayama. Kantukpun akan berlalu. Di jaman dahulu, bagi mereka yang memiliki choti (jalinan rambut panjang), ada yang mengikat rambutnya ke paku di dinding ruangan —sehingga bila jatuh tertidur saat bermeditasi, paku seolah-olah menarik rambut dan membangunkannya. Makanlah makanan ringan saja di malam hari.
Abhyasa dan Vairagya merupakan dua jalan terbaik untuk menyingkirkan berbagai hambatan. Vairagya (tanpa kegandrungan) bukan berarti lari dari dunia. Vairagya merupakan suatu sikap-batin. Analisalah pemikiran-pemikiran Anda sendiri. Amankanlah motivasi-motivasi luhur Anda. Sedapat mungkin, hindarilah objek-objek yang paling Anda gandrungi. Bilamana kegandrungan pada sesuatu telah lenyap, selanjutnya Anda dapat menggunakan pengalaman tersebut sebagai acuan guna melepaskan kegandrungan-kegandrungan yang lain.
TIGA KELAS PENEKUN.
Raja Yoga adalah jalan mulia untuk membebaskan diri dari penderitaan. Ia mencakup perlakuan intensif terhadap empat masalah besar manusia: penderitaan, sebab-sebab penderitaan, terbebas dari penderitaan dan jalan pembebasannya. Praktek latihan dari metode-metode yang disajikan dalam Raja Yoga mengantarkan pada pemusnahan segala derita dan pencapaian kebahagiaan sejati. Berlatihlah mulai hari ini! Jangan lewatkan barang seharipun. Ingat, masing-masing hari mengantarkanmu semakin mendekat pada tujuan akhir dari kelahiran kita sebagai manusia di dunia ini. Anda telah menyianyiakan banyak hari, banyak bulan dan banyak tahun selama ini. Anda tak menyadarinya karena Anda telah meminum minuman keras yang bernama Moha. Karena itulah Anda tidak mengerti sebab sesungguhnya dari semua derita hidup duniawi ini.
Penyebab utama dari derita ini adalah Avidya. Manakala mentari pemilah-milah (Viveka) telah terbit di dalam, Sang Purusha mulai menyadari kalau Ia berbeda dengan Prakriti, bahwa Ia bebas dan tiada terpengaruhi. Raja Yoga memberi Anda sebuah metode paling praktis yang mengantarkan Anda pada kondisi yang mengagumkan ini.
Menurut Raja Yoga, ada tiga tipe penekun —Uttama, Madhyama dan Adhama Adhikari. Bagi masing-masing tipe, disediakan tiga jenis Sadhana.
• Bagi Uttama Adhikari (penekun kelas utama) Raja Yoga menyediakan Abhyasa dan Vairagya. Ia mempraktekkan meditasi kepada Sang Diri-Jati; ia mempraktekkan Chitta-Vritti-Nirodha (penghentian pusaran-pusaran batin) dan dengan cepat memasuki alam Samãdhi. Inilah praktek Abhyasa yang didukung oleh Vairagya.
• Bagi Madhyama Adhikari (penekun kelas menengah) disediakan Kriya Yoga: Tapa, Svadhyaya dan Ishvarapranidhana. Tapa adalah kesederhanaan atau kepolosan. Ketanpa-akuan (egolessness) dan pelayanan tanpa pamerih, merupakan bentuk-bentuk teragung dari Tapa. Kerendahan hati dan tanpa keinginan untuk kepentingan pribadi atau ketulusan, juga merupakan bentuk-bentuk teragung dari Tapa. Praktekanlah mereka melalui pelayanan terus-menerus, tanpa henti dan dengan tanpa pamerih. Praktekkanlah tiga jenis Tapa yang disebutkan dalam Bhagavad Gita. Penerapan disiplin diri seperti upavasa, dll., juga merupakan praktek dari Tapa ini. Svadhyaya adalah mempelajari kitab-kitab ajaran spiritual juga melaksanakan japa (merafalkan secara berulang-ulang) dari Ishta Mantra Anda. Ishvarapranidhana adalah penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan dan melaksanakan setiap tugas sebagai Ishvararpana, sebagai persembahan kepada-Nya. Tiga bentuk Sadhana dari para Madhyama Adhikari yang terbenam dalam meditasi yang mendalam, secara cepat akan mengantarkannya mencapai Kaivalya Moksha.
• Bagi Adhama Adhikari, tipe penekun ter-rendah, Raja Yoga menyediakan Ashtanga Yoga atau delapan tahapan Sadhana —Yama, Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samãdhi.
ASHTANGA YOGA.
Raja Yoga dari Patanjali umumnya juga disebut Ashtanga Yoga yaitu Yoga dengan delapan lengan (tahapan); melalui  pempraktekannya, kebebasan dapat dicapai. Kedelapan lengan tersebut adalah: Yama, Niyama, Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samãdhi.
Delapan tahap ini telah tersusun sedemikian rupa secara ilmiah. Mereka merupakan langkah-langkah alamiah dalam sebuah tangga yang mengantarkan manusia menuju sifat-sifat kedewataannya yang sejati. Semua jaring-jaring yang melekatkan Purusha pada Prakriti dipotong secara pasti. Pemutusan ini membebaskan Purusha untuk menikmati Kebebasan, Kaivalya Moksha. Inilah tujuan dari Raja Yoga.
Yama dan Niyama memurnikan perbuatan seseorang dan menjadikannya lebih Sattvik. Tamas dan Rajas —yang merupakan pilar-pilar kokoh Samsara—diruntuhkan dengan sepuluh kanon dari Yama dan Niyama (Panca Yama dan Panca Niyama Brata); kesucian batinpun meningkat. Sifat-sifat individu menjadi Sattvik.
Āsana memberi kemampuan pada individu untuk mengendalikan impuls-impuls Rajasik; dan pada saat yang bersamaan membentuk landasan kuat Antaranga Sadhana, atau proses Yoga di dalam (yang membentuk suatu sikap-batin luhur—pen.).
Pranayama mengantarkan penekun bertatap-muka secara langsung dengan Prinsip-Kehidupan (Life-Principle). Kendalikan Prinsip-Kehidupan; ini memberikan suatu pandangan mendalam pada kekuatan yang memotivasinya. Ia dibuat sadar atas fakta bahwasanya keinginan menjaga kekuatan-hidup. Keinginanlah yang menyebabkan  terjadinya eksternalisasi pikiran. Keinginanlah tempat peraduan dari Vritti-vritti. Vritti-vritti bersama-sama membentuk pikiran, dan pikiranlah yang menghubungkan Purusha dengan Prakriti.
Bila pikiran hancur, maka Vritti-vritti pun terkikis. Bila Vritti-vritti terkikis, maka keinginanpun akan tercabut hingga ke akar-akarnya. Sang Yogi lalu dengan cepat bisa menarik ke dalam semua sinar pikirannya dari tenaga penggeraknya yang ada di luar. Proses inilah yang disebut dengan Pratyahara.
Guna menemukan akar dari pikiran, yang merupakan benih-keinginan, ia membutuhkan sinar yang menerangi seluruh pikirannya. Pada saat yang bersamaan, sinar itu memberi kekuatan untuk bertahan terhadap eksternalisasi pikiran dan memutuskan lingkaran setan itu, memutuskan hubungan keinginan untuk memanifestasikan dirinya lagi akibat adanya aktivitas pikiran itu sendiri. Sorotan sinar yang terkonsentrasi ini akan terpancar langsung ke akar dari pikiran itu sendiri; dan pikiran pun terpegang dan terawasi. Inilah yang dinamakan Dharana.
Nah....kesadaran yang telah sedemikian lamanya mengalir keluar, kini terkumpul kembali dan mengalir kembali menuju sumbernya, yakni Purusha yang ada di dalam. Inilah proses dalam Dhyana.
Hubungan dengan Prakriti kini telah sirna. Purusha mengalami kondisi kebebasan transendental —Kaivalya— dalam Nirvikalpa Samãdhi. Kebodohan pun hancur kini. Purusha kini menyadari bahwa kesadaran-Nyalah yang memberi kekuatan pada Prakriti untuk menyenangkan-Nya, memberi-Nya kenikmatan, menyelubungi-Nya, dan akhirnya membelenggu-Nya. Ia kini menikmati kebahagiaan yang merupakan sifat sejati-Nya, dan tetap tinggal bebas dan penuh kebahagiaan selamanya (Anandam). Semua bentuk-bentuk pemikiran sirna untuk selamanya dalam Nirvikalpa Samãdhi. Benih-benih keinginan dan VĀsana serta Samskara hangus sepenuhnya; inilah yang disebut dengan Nirbija Samãdhi.
Sang Yogi yang berada dalam Status Tertinggi ini kehilangan seluruh kesadaran eksternalnya, demikian pula halnya dengan semua kesadaran dualitas atau kebhinekaannya; beliau bahkan kehilangan ide tentang aku-nya (Asmita) dalam Asamprajñata Samãdhi. Inilah Status Tertinggi dimana Sang Purusha berada mantap dalam Svarupa-Nya.
TEKUNLAH WAHAI PENEKUN SEJATI!
Jangan berkhayal bahwa Anda seorang Uttama Adhikari, dimana Anda cukup duduk bermeditasi dan langsung tercerap dalam Samãdhi. Anda akan mengalami kejatuhan yang mengenaskan. Setelah berlatih bertahun-tahun sekalipun Anda tidak akan memperoleh suatu kemajuan yang berarti, karena jauh di  dalam lubuk-hatimu masih bersembunyi keinginan-keinginan dan keserakahan, Vritti-vritti yang berada jauh dari jangkauan Anda.
Tekunlah! Lakukanlah analisis yang cermat terhadap hati dan pikiranmu. Walau Anda seorang penekun kelas wahid sekalipun, anggaplah diri hanya sebagai penekun kelas terendah dan latihlah selalu kedelapan tahapan Sadhana, seperti yang diuraikan oleh Raja Yoga. Semakin banyak waktu yang Anda habiskan pada dua langkah pertama, yakni Yama dan Niyama, semakin sedikit nantinya waktu yang akan Anda perlukan untuk mencapai kesempurnaan meditasi. Memang persiapan membutuhkan waktu cukup lama. Tapi jangan menunggu hingga sempurna dalam Yama dan Niyama, sebelum melangkah menuju Āsana, Pranayama dan meditasi.
Cobalah meraih kemantapan dalam Yama dan Niyama, dan pada saat yang bersamaan latihlah Āsana, Pranayama dan meditasi sebanyak Anda bisa. Dengan demikian keberhasilan akan lebih cepat tercapai. Andapun akan lebih cepat tercerap ke dalam Nirvikalpa Samãdhi dan mencapai Kaivalya Moksha. Bagaimana kondisi tertinggi tersebut?; tak seorangpun pernah mengutarakannya, karena sesungguhnya terlampau terbatas kata-kata guna mengungkapkannya.
Berlatihlah dengan tekun, wahai penekun sejati, realisasikanlah Sang Diri-Jati. Semoga engkau bersinar laksana seorang Yogi sempurna dalam kehidupan ini!

Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life Society yang telah di-update pada hari Minggu 14 Juli 1996.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=322&Itemid=93
Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

SELAMAT DATANG DI BLOG SUGITA WIBHUSHAKTI
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

- Copyright © SUGITA WIBHUSHAKTI -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -