Posted by : Unknown Rabu, 23 Oktober 2013

Parama Shanti (Bagian Ke - II) Print E-mail
Parama Shanti
(Bagian dua)
Gede Prama

Dalam banyak hal, Barat membawa tanda-tanda ke mana peradaban akan bergerak. Sejumlah hal yang terjadi di Barat (industrialisasi, demokrasi) kemudian mewabah ke seluruh dunia. Satu pertanda kuat yang terjadi setengah abad terakiir di Barat adalah betapa laparnya manusia akan kedamaian. Perhatikan buku-buku yang menggunakan kata damai sebagai judul, jumlahnya berlimpah. Sebagai contoh, Thich Nhat Hanh salah satu karyanya berjudul Peace Is A Step. Thomas Merton menggunakan Thought In Solitude sebagai judul. Karya terindah Eckhart Tolle berjudul Stillness Speaks. Semuanya bertutur tentang kedamaian dan keheningan menawan.

Bali juga kerap diidentikkan dengan kedamaian dan keheningan.  Ini tidak saja hasil promosi pariwisata, namun juga terlihat dalam warisan spiritual para tetua. Perhatikan cara tetua mengakhiri pembicaraaan (khususnya pembicaraan resmi) selalu diakhiri dengan Om shanti, shanti, shanti. Om adalah aksara sakral. Melambangkan banyak hal, namun dari yang banyak itu semuanya mewakili kesucian dan kedamaian. Shanti (damai) disebutkan bahkan tiga kali. Seperti sedang memberi inspirasi, setiap kali mengakhiri sebuah wacana (lisan, tulisan, doa), jangan lupa ditujukan untuk membuat hati menjadi damai dan hening.

Semua ingin damai dan hening. Perhatikan nama-nama yang diberikan orang tua. Semuanya indah. Tidak pernah terdengar ada umat Hindu yang memberi nama anaknya Rahwana atau Duryodana. Tidak pernah terdengar ada umat Buddha bernama Devadatta (sepupu Siddharta Gautama yang berulang-ulang mau membunuh Buddha karena dengki). Ini berarti, di tingkat aspirasi semua manusia ingin damai. Di desa-desa tua Bali, masih tersisa nama-nama seperti Wayan Sabar, Nengah Tenang, Nyoman Terima, Ketut Polos. Seperti mau berpesan, bila ingin damai jangan lupa sabar. Kesabaran menjadi awal ketenangan. Kemudian ketenangan ini yang membuat manusia bisa menerima kehidupan tanpa keluhan. Ujung-ujungnya, hidup pun mengalir polos apa adanya.

Tumpek Landep
Dari sekian banyak hari suci di Bali, tumpek landep adalah salah satu pertanda. Dalam bahasa kebanyakan, ia adalah hari rnenyucikan barang-barang yang lancip seperti keris. Sebuah cara memandang yang layak dihormati. Dari sudut pandang lain, keadaan lancip serupa dengan puncak gunung. Ia bisa didaki, baik dari kiri maupun kanan. Ini serupa cerita dua pendaki gunung yang mendaki dari arah timur dan barat. Dari puncak gunung, gurunya bertanya di pagi hari: matahari terbit dari arah mana? Pendaki dari timur menjawab di belakang, sedangkan pendaki dari barat menyebut dari depan. Dan riuhlah perdebatan di antara keduanya.

Depan-belakang, belakang-depan, gurunya senyum-senyum sambil berdoa di puncak gunung. Begitu keduanya sampai di puncak, baru mengerti sekaligus malu pernah saling menyalahkan.
Bila boleh jujur, cerita kedua pendaki ini adalah cerita orang kebanyakan. Di Bali tidak ada yang berani menyebut diri berjalan dijalan-jalan kiri. Salah-salah rumah dibakar orang. Nyaris semua orang sibuk menyebut diri berjalan di kanan, lebih sibuk lagi menghakimi orang yang dibenci dengan sebutan kiri.

Dari sejarah bertutur jernih, tidak semua orang kiri masuk neraka. Walmiki di Hindu adalah sebuah cerita indah. Setelah menghabiskan banyak waktu merampok dan membunuh, di suatu waktu ia menampok rumah. orang suci. Orang suci ini kemudian minta Walmiki balik ke rumah bertanya, apakah keluarganya mau menanggung dosanya. Dan ternyata, tidak ada anggota keluarga yang mau menanggungnya. Maka sujudlah Walmiki di kaki orang suci tadi, kemudian duduk meditasi hingga dosa-dosanya terobati. Setelah sekian lama, seluruh tubuhnya dikerubuti semut. Makanya salah satu arti Walmiki adalah rumah semut. Dari sinilah terbuka cakrawala baru hidup seorang Walmiki sehingga bisa menulis Ramayana.
Jetsun Milarepa di Tantra mengalami hal serupa. Setelah ayahnya meninggal, seluruh warisan diambil oleh paman dan tantenya. Ibunya dendam tidak ketulungan. Ketika anaknya dewasa, disuruh belajar santet sebagai pensiapan pembalasan. Selesai belajar santet, Milarepa mengirim energi buruk ke rumah paman dan tantenya. Akibatnya pesta pernikahan meriah berubah menjadi rumah runtuh yang bersimbah darah. Puluhan orang meninggal.
Rasa bersalah yang mendalam membuat Milarepa bersumpah untuk membayar dosa-dosanya. Dan benar, di tangan gurunya Marpa, Milarepa dilatih sampai berdarah-darah selama bertahun-tahun. Ujung-ujungnya Milarepa mengalami realisasi spiritual tingkat tinggi. Berulang-ulang banyak orang melihat dia terbang ke langit. Ketika sudah tua ada pertemuan di puncak gunung, sehingga tidak mungkin ia mengikutinya. Namun kekuatan doanya bisa membuat puncak gunung merunduk di depan kaki Milarepa. Dan ketika wafat, dari semua penjuru bermunculan cahaya. Dalam garis guru-guru Tantra, Milarepa dicatat sebagai salah satu guru menentukan setelah Tilopa, Nanopa dan Marpa.

Dalam bahasa orang bijaksana, semuanya sedang bertumbuh. Walmiki dan Milarepa memulai di jalan kiri. Kendati dicaci, ujung-ujungnya mengalami realisasi tingkat tinggi. Kebanyakan orang suci memang mengambil jalan-jalan kanan: menghentikan perbuatan jahat, memperbanyak perbuatan baik, memurnikan pikiran. Mahatma Gandhi, Vivekananda di Hindu, HH Dalai Lama, Thich Nhat Hanh di Buddha, Jalalludin Rumi, Kabir Sahib di Islam, Thomas Merton, Santo Fransiscus di Krisitianitas hanyalah sebagian contoh orang suci yang berjalan di kanan. Namun menghakimi orang kiri dengan cacian berlebihan, bukanlah ciri-ciri orang kanan yang sudah berjumpa kebijaksanaan.

Panca sembah: dari kosong ke kosong
Ada cerita tentang orang tua bijaksana di pinggir hutan. Kesehariannya hanya diam, senyum dan berdoa, sehingga orang desa menghormati dan mencintainya. Suatu waktu ada gadis desa yang hamil tanpa suami. Di tengah amarah mencekam, gadis ini ditanya siapa yang menghamili. Dengan ketakutan wanita ini menunjuk orang tua di pinggir hutan. Kontan saja orang murka dan membawa gadis hamil ini ke pinggir hutan. Setelah semuanya memaki, mencaci, menyebut munafik, kemudian diserahkan gadis tadi untuk diajak tinggal bersama. Orang tua ini hanya berucap pendek: “baiklah!”.

Sekian tahun kemudian, setelah anaknya lahir, Ibu muda ini dihinggapi rasa bersalah mendalam. Ia datangi orang tuanya sambil menangis: “Bukan orang tua di pinggir hutan yang menghamili saya. Di samping itu, saya amat tersentuh oleh kebaikannya bertahun-tahun. Satu kali pun saya tidak pernah diganggu selama tinggal bersama”.

Mendengar pengakuan polos ini, lagi-lagi orang desa mendatangi orang tua di pinggir hutan sambil meminta maaf. Kali ini pun jawaban orang tua bijaksana ini tetap sama: “baiklah!”. Inilah kekosongan yang sesungguhnya. Keadaan batin yang bersih, jernih sempurna. Sehingga tidak ada satu pun cacian dan makian yang membuatnya bergoyang.

Parama shanti sehari-hari
Di salah satu cuplikan kehidupan Sang Rama kecil, Sugriwa kecil mengeluh karena tidak pernah menang berkelahi melawan Subali kecil. Kasihan melihat kawan kecilnya, ketika Sugriwa dan Subali berkelahi, dari balik pohon kaki Subali dipanah Sang Rama hingga terluka. Dari sekian waktu kemudian ketika Sang Rama reinkarnasi menjadi Shri Krishna, beliau istirahat tidur di tengah hutan.

Salah satu ciri orang suci ketika itu, telapak kakinya berisi gambar bunga padma berwarna emas yang bersinar. Dari kejauhan, bunga padma bercahaya di kaki Shri Krishna ini dikira mata rusa oleh pemburu. Tanpa ragu-ragu, dibidikkan panah mengenai kaki Shri Krishna sehingga terluka. Kontan saja pemanahnya sujud minta maaf, namun pemilik kaki hanya senyum-senyuh melihat karma berputar.

Inilah ciri guru dengan realisasi spiritual tingkat tinggi. Tidak ada kelebihan yang memunculkan kesombongan, tidak ada kesialan yang memicu kemarahan. Sekaligus memberi rahasia indah tentang karma: mengalirlah bersama karma, karena di sana tersembunyi rahasia keindahan kehidupan. Tetua Bali membukakan pintu melalui Rwa Binedha. Dua hal yang berbeda sekaligus sama. Kebahagiaan-kesedihan, surga-neraka keduanya berbeda sekaligus satu. Bagi orang biasa, keduanya terlihat berbeda (kebahagiaan dikejar kesedihan dicampakkan, surga dipuja neraka dicerca). Itu sebabnya orang biasa hidupnya berguncang. Dan bagi para Yogi, kebahagiaan jadi mendalam karena ada kesedihan, surga menyala karena ada kegelapan neraka. Jadi tidak ada kebahagiaan yang perlu dikejar, tidak ada kesedihan yang perlu dicampakkan. Tidak ada surga yang butuh dipuja, tidak ada neraka yang perlu dicerca. Itu sebabnya para Yogi mengalami batin yang tenang seimbang. Makanya salah satu buah meditasi bernama boundless capacity to suffer (kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas). Semuanya disambut dengan diam, senyuman serta doa semoga semua berbahagia. Dalam bahasa tetua Bali, ia disebut Embang (Maha Sunyi). Ini bisa terjadi ketika seseorang sudah mengalir sempurna bersama karma. Sekaligus memberi inspirasi, inilah Parama Shanti.

Gede Prama adalah penulis buku “Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan” (Gramedia Penerbit Utama 2009), sekaligus penulis buku “Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing (Gramedia International 2009).
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1381&Itemid=96

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Blogger templates

SELAMAT DATANG DI BLOG SUGITA WIBHUSHAKTI
Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

- Copyright © SUGITA WIBHUSHAKTI -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -