Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
13. Disiplin Moral Dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting-Insting Destruktif |
Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra II.40 sampai dengan II.45.
Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga dimungkinkan oleh kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga, Yama-Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali.
Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting Destruktif.
Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka), hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa bhavana). Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha), kemurkaan (krodha), ataupun kebingungan karena mabuk (moha), apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya), ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan. Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan (pratipaksa bhavana) ini.
[YS II.33 dan II.34]
Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan insting-insting distruktif kita. Metode ini dikembangkan atas fakta bahwa ‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’. Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif, yang menunjang pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi).
Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa. Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini memungkinkan? Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah mengakar kuat, karena dibawa sejak beberapa kelahirannya yang lampau.
Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau kegandrungan terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan, langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi ‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses itu, kemelekatan, kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.
Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan, kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini, akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya yang paling logis.
Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini, serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan Niyama diketengahkan disini dengan penekanan yang kuat. ‘Jauh lebih baik menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci dari Yama-Niyama.
Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin, sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan, maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di dalam meraih keberhasilannya.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=93
Related Posts :
- Back to Home »
- wayan »
- 13. Disiplin Moral Dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting-Insting Destruktif