Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
17. Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap-Mental |
Darisana bentuk-bentuk batin dualistik (dvandva) tak lagi mengganggu. [YS II.46 - II.48]
Patanjali memang tidak secara khusus menyebutkan ataupun merekomendasikan sikap-tubuh tertentu, namun banyak penekun dan Guru spiritual menemukan manfaat besar dari sikap-tubuh padmãsana (sikap duduk bagai bunga lotus), siddhãsana (sikap duduk para orang suci), swastikãsana (sikap duduk bagai simbol swastika) dan sukhãsana (sikap duduk sesuka hati, namun tetap bersila dengan tulang-punggung tegak). Banyak yang menyebutkan bahwa padmãsana-lah yang paling utama diantaranya. Yang perlu untuk digunakan pegangan dalam duduk bermeditasi adalah, kepala, leher dan tubuh dipertahankan agar tetap dalam satu garis lurus dan tegak. Tidak condong ke depan, ke belakang atau ke samping. Pilihlah satu sikap duduk yang paling sesuai bagi Anda, dan jangan setiap kali merubah sikap duduk. Pertahankan satu sikap duduk dengan mantap.
Secara khusus, Hatha Yoga —atau juga disebut Yogãsana—mengajarkan dan melatih semua sikap-sikap tubuh, yang amat bermanfaat bagi kesehatan dan kelenturan tubuh, dan tidak kita bicarakan secara khusus disini. Sikap-sikap tubuh ini sangat kondusif di dalam membentuk atau menghadirkan sikap-mental yang sesuai dengan yang diperlukan dalam melaksanakan japa dan langkah selanjutnya, yakni pranayama dan dhyana. Disamping kesehatan tubuh, pembentukan sikap-mental merupakan tujuan utama dari laku asana ini. Bahkan Sri Swami Sivananda menyatakan “bila tak dapat melaksanakan asana dengan sempurna, tidak akan dapat melakukan dhyana dengan baik”.
Sikap dan kondisi tubuh, ekspresi wajah, diketahui sebagai punya kaitan erat sekali dengan kondisi mental. Ambil contoh anjuran“keep on smiling” misalnya. Adakah landasan ilmiah —selain empiris—dari anjuran ini? Ternyata ada; seorang psikolog Jerman, Fritz Stark, pernah mengadakan penelitian ilmiah terhadap senyum, dalam kaitannya dengan pengkondisian batin kita. Menurutnya, membuat senyuman dengan otot-otot wajah, menipu otak untuk merespon dengan perasaan yang relevan. Pernyataan ilmiahnya ini, ternyata juga dikuatkan lagi oleh David Lykken —pensiunan profesor psikologi dari University of Minnesota, Minneapolis USA— dengan menyatakan “Emosi merupakan perpaduan antara perasaan internal dengan respons fisik yang memberikan umpan-balik pada otak kita”.
Sebetulnya, hingga saat ini memang telah banyak bukti-bukti sebagai hasil empiris perseorangan, perkumpulan Yogãsana maupun penelitian-penelitian ilmiah tentang nilai manfaat langsungnya secara fisik maupun psikis. Asana tertentu —secara phisioterapis— dapat menyembuhkan penyakit tertentu, bahkan Yogãsana diyakini juga sebagai Yoga Kesehatan. Kondisi tubuh yang sehat, otot-otot yang lentur, tidak tegang, menimbulkan rasa nyaman dan mengurangi kegelisahan mental. Dan ini amat membantu dalam tercapainya keterpusatan saat berlatih meditasi (dhyana). “Kalau Anda dapat duduk hanya untuk satu jam saja, Anda dapat memusatkan pikiran dan merasakan kesentosaan dan kebahagiaan”, papar Sri Swami Sivananda dengan amat meyakinkan.
Sebagai pembentuk sikap-mental, dan bukan semata-mata sikap-tubuh layaknya senam dan bentuk-bentuk olah-raga lainnya, asana sesungguhnya telah terbentuk ketika Yama-Niyama benar-benar diterapkan di dalam kehidupan. Di Nusantara dikenal—apa yang disebut dengan—sasana, disiplin mental dan prilaku yang pantas. Pemposisian asana sebagai tahapan ketiga—setelah Yama dan Niyama—seakan-akan mengisyaratkan bahwa, ‘tiada sadhana yang terlaksana dengan baik, tanpa didasari oleh sikap-mental yang baik’. Makanya, dalam yogasadhana, Yama-Niyama tetap menjadi kunci keberhasilan. Pelaksanaan tiga aspek dari Niyama saja—yakni Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana—sudah layak diperhitungkan sebagai melaksanakan Kriya Yoga.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=331&Itemid=93