Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
Tata Cara Membuat Bangunan Suci
- Upacara Pangruwak
- Upacara Nasarin
- Upacara Mamakuh
- Upacara Mlaspas
- Upacara Mapadagingan
- Upacara Ngenteg Linggih
- Upacara Piodalanselengkpanya
Upacara Pangruwak
Upacara Pangruwak adalah upacara permohonan kehadapan para bhuta kala
yang menempati tanah tersebut, agar berkenan tanah tersebut untuk
dijadikan tempat pendirian bangunan. Apabila upacara ini tidak
dilakukan, ada keyakinan akan mendapatkan gangguan dari para bhuta kala
atau roh-roh halus penghuni tanah tersebut. Menurut kepercayaan umat
Hindu di Bali disebut dengan Pamali.
Upakara yang dipersembahkan berupa caru Eka Sata, yakni ayam
berumbun, dengan perlengkapannya menurut ajaran sastra. Salah satu
sastra yang menguraikan hal itu disebut Lontar Bhama Kertih.
Dalam lontar tersebut diuraikan, sebagai berikut :
Caru ayam brumbun, urip 33, pakalahyangan, sesayut durmanggala,
prayascita, yang dipersembahkan kepada Sang Bhuta Bhuwana. Segehan
Agung, dilengkapi dengan tetabuhan, dipersembahkan kepada sang Bhuta
Dengen.
Dilanjutkan dengan mengukur lokasi bangunan tersebut dengan ketentuan
Asta Kosala, Asta Dewa, Asta Bhumi, Asta Patali, sesuai dengan
kegunaannya.
Setelah itu barulah dilanjutkan dengan persembahyangan bagi para
penyungsung tempat suci itu. Semua bunga, kawangen yang dipergunakan
untuk sembahyang dikumpulkan, untuk ikut dijadikan dasar.
Upacara Nasarin
Upacara Nasarin atau peletakan batu pertama, sesuai dengan sastra yang disebut di atas, sebagai berikut :
- Dasar pertama dengan Bata Bang atau batu bata merah, yang bergambarkan Badawangnala, dengan wijaksara ANG.
- Klungah Kelapa Gading makasturi, airnya dibuang, ditulisi dengan wijaksara OM kara. Dilengkapi dengan wangi-wangi, lengawangi, buratwangi, dedes, kawangen kraras, uangnya 11 kepeng, dibungkus dengan kain putih, diikat dengan benang 4 warna (lawe catur warna). Di pucaknya kawangi dengan uangnya 33 kepeng (urip bhuwana), canang satangkep, tumpeng bang adanan, iwak (daging) ayam biying yang dipanggang, lem\ngkap dengan buah-buahan. Jugjugin (tancapkan) dengan keris/dahan (carang) dadap, simbul lanang (purusa). Setelah itu baru dipergunakan sebagai dasar.
- Di atas upakara tadi, ditindih dengan bata bang (batu bata merah), bertuliskan Dasaksara. Lalu ditindih dengan batu hitam (batu bulitan), yang bertuliskan Tri Aksara ANG UNG MANG.
- Yang paling atas adalah sebuah kawangen, dengan uangnya 11 kepeng, yang bertuliskan OM karamertha..
Perincian upacara yang tersebut di atas, tidak dapat dilepaskan
dengan Tattwa atau sistim filsafat Hindu, tentang Bhuwana Agung dan
Bhuwana Alit.
Mamakuh
Apabila bangunan tersebut telah selesai dibangun, dilanjutkan dengan
upacara Mamakuh. Dalam upacara ini yang penting, adanya upakara yang
disebut Pangurip-urip, yang terdiri : kapur (apuh), warnanya putih;
darah (rah), warnanya merah; arang (areng), warnanya hitam dan asaban
cendana, warnanya kuning.
Upacara ini bertujuan untuk merubah benda-benda mati, yakni bahan-bahan yang digunakan, untuk dihidupkan dan disucikan.
Dalam pelaksanaanya, yang dipasang pertama adalah kapur, sebagai
lambang Siwa, yakni dewa pelebur, melebur segala yang kotor, menjadi
bersih/suci. Yang ke dua, adalah darah dengan warna merah, sebagai
lambang Brahma, yakni dewa Pencipta (Utpeti); yang ke tiga adalah arang,
warna hitam, lambang dewa Wisnu, sebagai dewa Pemelihara (Sthiti); dan
asaban cendana, dengan warna kuning, lambang dewa Mahadewa, sebagai
lambang kesuburan/kebahagiaan. Disamping itu adanya pemasangan
Pangulap-Ulap, yakni secarik kain putih yang bergambar sesuai dengan
bentuk dan fungsi bangunan tersebut.
Jadi upacara Mamakuh, berfungsi untuk menyucikan segala kekotoran dan merubah benda mati untuk menjadi hidup.
Upacara Mlaspas
Setelah upacara Mamakuh dilanjutkan dengan upacara Mlaspas, yakni
upacara penyucian tingkat lanjut. Upacara ini ditandai dengan pamasangan
Orti. Orti lambang kebahagiaan/ketenangan dan juga berarti kesuburan
(orti-wresti = hujan).
Upacara Mapadagingan
Untuk bangunan suci, upacara ini amat penting, karena tanpa upacara
Mapadagingan, bangunan tersebut atau pelinggih itu bukanlah rumah dewa
(dewagreha), melainkan rumah setan (paisacha greha). Mapadagingan juga
disebut dengan Mulang Panca Dhatu (lima logam mulia), seperti : pripih
perak, warna putih, lambang dewa Iswara; pripih tembaga, warna merah,
lambang dewa Brahma; pripih mas, warna kuning, lambang dewa Mahadewa;
pripih besi, warna hitam, lambang dewa Wisnu dan permata (suasa) , panca
warna, lambang dewa Siwa.
Fungsi upacara Mapadagingan, adalah menyucikan bangunan tersebut
dalam tingkat lanjut, agar para dewa (Panca Brahma Dewata), perkenan
bersinghasana pada pelinggih tersebut.
Setelah pelinggih itu diisi dengan Padagingan, para dewata
dilinggakan (dewa pratistha), barulah bangunan itu sebagai media
sembahyang.
Ngenteg Linggih
Dengan upacara Mapadagingan itu dan dewa pratistha, dilanjutkan
dengan Ngenteg Linggih, dengan harapan dewata yang dilinggakan, selalu
berkenan menganugrahkan keselamatan kepada para penyiwinya.. Dalam
rangkaian upacara ini, ada disebutkan : upacara Ngremekin,
yakni 3 hari setelah itu, dengan tujuan menghilangkan segala bentuk
kekotoran, pada pelinggih-pelinggih tersebut (angilangaken sebel kandel
letuh regede ring parhyangan bhatara sowang-sowang).
Setelah hari ke 11, dilanjutkan dengan Makebat Daun, yang disebut juga mapasaran, yakni
suatu prosesi upacara, bagaikan para dewata ke pasar, yang disebut
Pasar Keling, sesuai dengan bunyi Pajejiwan (Mapaselang). Lalu upacara
Ngebekin, yakni lambang apa-apa yang didapat dari Pasar Keling, untuk
dianugrahkan kepada para penyiwi (ngebatin olih-olihan idane rawuh
saking Pasar Keling). Setelah berlangsung 42 hari (bulan pitung dina),
ada upacara Nyenukin, dengan tujuan agar para dewa
menganugrahkan keselamatan, kemakmuran dan ketenangan kepada umat
(mangda ebek kang amertha ring jagate, landuh, kawiryan, kawibawan,
malarapan antuk rarapan saking Pasar Keling, kapaica ring jagate, mwah
sakalwir tinandur nadi = Lontar Kusumadewa Tattwa).
Semua rangkaian upacara yang tersebut di atas dapat disebut dengan
Karya; Karya ini yakni pada saat Mapadagingan/Mlaspas, biasanya
dijadikan suatu peringatan yang disebut dengan Piodalan (hari lahir)..
Caru Resi Gana
Caru Resi Gana, adalah salah satu jenis caru yang istimewa, karena
bahan yang digunakan berbeda dengan caru yang lainnya, yakni menggunakan
seekor itik putih dan tidak menggunakan sate, sebagai perlambang urip.
Tetapi dalam beberapa sumber ada juga menyebutkan, yakni tidak
menggunakan itik putih, melainkan itik biasa (sebulu-bulu).
Dalam pengolahannya, memakai layang-layang, tidak menggunakan sate
(jejatah), serta olahan jejeron, sesuai dengan fungsinya. Dilengkapi
dengan sega (nasi) 9 pangkon, alasnya tamas besar, dengan daun
nagasari, 9 helai daun, masing-masing ditulisi dengan wijaksara, mulai
dari tengah, ke timur dan mider tengen, yakni : OM ANG GA NA RE SI BHYO
NAMAH, artinya : Ya Tuhan yang berwujud Resi Gana yang kami hormati.
Caru ini diletakkan pada sebuah lubang yang telah ditentukan dengan
dialasi tepung, dengan gambar Padma Asta Dala, dengan tulisan Dasaksara
:SA BA TA A I NA MA SI WA YA.. Menggunakan sanggar tutuhan, dengan
penjor bambu gading, dengan kober 2 buah, dengan gambar Sanghyang Gana,
dengan atribiut membawa Genta (bajra) dan yang satu lagi membawa Gada,
dilengkapi dengan satu tangkai daun beringin, yang bergambarkan Cakra.
Pada dasarnya Caru ini untuk menyucikan karang angker, seperti ada
orang mati salah pati, kalebon amuk, disambar petir atau bahaya-bahaya
yang lain baik dari alam maupun dari Bhuta Kala.
Hakekatnya adalah pemujaan kepada Sanghyang Gana, sebagai dewa
penolak bahaya, sehingga disebut Hyang Awighneswara. Konsep dasar dari
caru ini adalah bertitik tolak dari konsepsi Siwa Sidhanta, yang menadi
Ista Dewata adalah Sanghyang Gana, putra dewa Siwa
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/tata-cara-membuat-bangunan-suci.html