Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
Guru dan Murid Sejati |
Guru dan Murid Sejati
Oleh Gede Suwantana*
Na ca vidyâ gurostulyam na tirtham na ca devatâh
Gurostulya na vai ko’pi yaddrstam paramampadam
(Jnana Sankalini Tantra: 93)
Tidak ada pengetahuan, tidak ada tempat suci atau dewata yang setara
dengan guru yang telah merealisasikan Yang Tertinggi.
GURU tidak bisa dibandingkan dengan vldya :(pengetahuan), tirtham (tempat suci), dan bahkan devata. Guru memiliki ‘bank’ kebijaksanaan yang mampu membimbing muridnya ke tingkat pengalaman spiritual yang lebih tinggi. Guru adalah perwujudan kebijaksanaan dan cinta kasih Tuhan. Seorang murid yang penuh Bhakti yang mengikuti perintah Guru dengan baik dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari akan lebih bermanfaat dibandingkan sekadar mengunjungi tempat-empat suci.
Mungkin kita ragu apakah benar demikian bahwa guru adalah di atas segala-galanya bukannya pengetahuan, atau bahkan Tuhan pun masih tidak bisa dibandingkan dengan keberadaan Guru. Bukankah, banyak guru palsu yang berkeliaran, atau banyak guru yang belum mencapai pencerahan? Bukankah jarang guru yang memiliki kualifikasi luar biasa seperti idealnya dikatakan demikian? Benar sekali banyak guru yang mesti diragukan kadar kesuciannya. Ini kalau dilihat dari kacamata si subyek, yakni Guru itu sendiri. Kalau konsern pada guru, kita bisa meragukannya. Tetapi jika kita sebagai murid, tidak ada guru yang palsu. Jika murid sebagai konsern, guru palsu tidak ada, semua yang namanya guru adalah riil.
Yang menentukan apakah murid akan maju secara spiritual bukan pada pertanyaan apakah gurunya berkualitas, tetapi apakah kita sebagai murid memiliki potensi atau kualifikasi sebagai murid? Jika murid tidak memiliki kualitas, betapa pun hebatnya guru tidak akan banyak membantu. Murid yang berkualifikasi yang disebut adikari, hanya perlu mengambil nama gurunya saja dan maju di dalam spiritual. Seperti pertanyaan seseorang yang datang ke hadapan Ramana Maharsi suatu ketika: “Apakah Anda mampu memberikan padaku pencerahan?”
Ramana Maharsi menjawab: “Mengapa tidak, tetapi apakah Anda mampu menerimanya? adakah tempat di hatimu?” Jika kemajuan spiritual murid sebagai fokus, maka kualitas muridlah yang menentukan.
Lalu apakah tidak penting guru yang berkualitas demi kemajuan murid? Itu pertanyaan buat guru dan tugas seorang guru, bukan pertanyaan untuk murid atau murid yang mempertanyakannya. Kalau murid yang mempertanyakan kualitas guru, maka dipastikan, dia bukan seorang murid, sebab jauh di hatinya tidak ada rasa bhakti, tidak ada tunduk hati. Murid seperti itu adalah murid yang egois, murid yang pamrih. Murid seperti itu tidak akan pernah bisa belajar, sebab pikirannya disibuki oleh keraguan, kebimbangan. Tanpa rasa bhakti, humble, rendah hati, kesadaran spiritual tidak akan pernah muncul. Siapa pun yang membimbingnya tidak akan penah mendatangkan hasil.
Seorang murid sejati adalah murid yang penuh bhakti, dedikasi, memiliki kepercayaan teguh, dan mantap di dalam tindakan. Nama guru sudah cukup membuatnya maju. Jika potensi murid besar maka nama guru saja akan mampu mengantarkannya ke arah kemajuan spiritual. Banyak contoh yang bisa dijadikan rujukan. Ekalawya misalnya berguru kepada Drona, meskipun dalam wujud patung, Ekalawya mampu belajar darinya sehingga menjadi pemanah yang hebat. Kemudian ada lagi dalam tradisi Buddha seorang murid bernama Milarepa. Dia berguru pada seorang master. Apa pun yang dikatakan oleh gurunya, dia jalankan dengan penuh keyakinan. Dengan menyebut nama gurunya, ketika gurunya sendiri menyuruhnya terjun ke laut, maka tidak ada rintangan, sama sekali. Gurunya sempat shock melihat kehebatan apa yang dipunyai muridnya. Gurunya bertanya, “Mengapa bisa selamat?” Milarepa menjawab, “Hanya memanggil namamu, segalanya bisa kuatasi dengan baik”. Karena demikian gurunya pun malu dan terjun ke laut. Dikabarkan gurunya tidak pernah kembali lagi.
Pertanyaan apakah ada guru yang tidak sejati itu merupakan pertanyaan buat guru itu sendiri. Jika yang telah menjadi guru menyatakan ya, maka masih ada guru yang tidak sejati. Tetapi dari sisi murid, guru yang tidak sejati tidak pernah ada dan tidak akan ada. Dari sisi murid yang ada adalah murid yang tidak sejati. Kalau pertanyaannya apakah ada murid yang tidak sejati? Jika jawaban kita ya, maka masih ada murid yang tidak sejati.
*Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1392&Itemid=94