Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
Sebelas Tapa Yadnya |
Sebelas Tapa Yadnya
Oleh : Gede Prama
Dalam banyak hal, Barat memberi tanda-tanda kemana peradaban akan bergerak. Industrialisasi, demokratisasi hanyalah sebagian gelombang yang bermula di Barat, kemudian mewabah ke seluruh dunia. Berkaitan dengan spiritualitas. Barat sedang memberi tanda berupa menurun drastisnya kharisma institusi agama. Di sebagian negara Barat (Prancis sebagai contoh), orang yang datang ke gereja tidak sampai sepuluh persen. Dan, itupun semuanya orang-orang tua.
Lentera – NusaBali, Jumat 29 Januari 2010.
Sebelas Tapa Yadnya
Oleh : Gede Prama
Dalam banyak hal, Barat memberi tanda-tanda kemana peradaban akan bergerak. Industrialisasi, demokratisasi hanyalah sebagian gelombang yang bermula di Barat, kemudian mewabah ke seluruh dunia. Berkaitan dengan spiritualitas. Barat sedang memberi tanda berupa menurun drastisnya kharisma institusi agama. Di sebagian negara Barat (Prancis sebagai contoh), orang yang datang ke gereja tidak sampai sepuluh persen. Dan, itupun semuanya orang-orang tua.
Bersamaan dengan itu, sejumlah ilmuwan (seperti Daniel Goleman dari Harvard) menjadi pelopor berlatih meditasi dan kearifan Timur.
Uniknya, bila di Barat terjadi gerakan ke Timur yang dipimpin ilmuwan, di sejumlah Negara Timur (Korea dan Jepang sebagai contoh) terjadi gerakan balik. Orang menemukan kedamaian di gereja.
Tanpa Kedamaian
Agama Ditinggalkan
Ada berbagai kemungkinan yang tersembunyi di balik semua ini. Salah satu yang layak dicermati adalah lelahnya manusia melakukan upacara. Lebih dan lelah, banyak yang tidak menemukan kedamaian di sana. Ini memberi lentera, bila agama hanya berisi upacara, lebih-lebih upacaranya berisi banyak perkelahian, sangat mungkin agamanya akan ditinggalkan.
Kecenderungan ini sedang mengundang agama-agama untuk merenungkan ulang peran agama dalam kekinian. Perhatikan perilaku generasi baru dengan pendidikan tinggi serta interaksi yang tinggi. Di Barat banyak sekali kelompok yang menyebut diri mereka non believer. Sebuah judul yang lebih halus dari kecenderungan ateis.
Setelah robohnya gedung kembar World Trade Center New York akibat ditabrak beberapa pesawat teroris pada 11 September 2001, sejumlah karya di Barat sudah mengambil judul yang terang-terangan berseberangan dengan agama. Sebagian karya itu berjudul God is not great: How religion poisoned everything (Tuhan tidak lagi agung, bagaimana agama telah meracuni semuanya). Karya lain ada yang berjudul How religion poisoned people (Bagaimana agama sudah meracuni manusia). Itu baru sebagian kecil, jumlah karya-karya semacam itu terus bertambah dari hari ke hari. Tanpa kepekaan dan kecermatan yang cukup, kecenderungan ini bisa berujung pada runtuhnya institusi agama. Bila ini terjadi, lantas ke mana manusia mencari payung perlindungan?
Pergi ke Dalam
Bagi kita di Timur yang belum terbiasa bersahabat dengan komunitas tanpa konsep Tuhan, kesan pertama terhadap kelompok ini serba negatif: jahat, tanpa etika. Namun, sejumlah guru meditasi di Barat bertutur sebaliknya. Sebagian manusia tanpa agama ini justru lebih cepat menyentuh keindahan meditasi yang bernama samadhi. Ini bisa terjadi karena mereka memasuki dunia meditasi tanpa penghalang konsep (benar-salah, baik-buruk, suci-kotor).
Dengan mengungkapkan ini, bukan berarti agama negatif, ateis positif. Sekali lagi bukan! Cuma, ia menyibak misteri, rupanya ada juga ruang kedamaian di luar institusi agama. Sekaligus menghadirkan tantangan buat agama-agama kalau institusi agama bukan satu-satunya sumber air kedamaian.
Kecenderungan seperti ini tidak saja menghadirkan ruang berbenah bagi agama-agama, namun juga memberikan inspirasi bagi pejalan kaki ke dalam diri, di dalam sana ada ruang-ruang tidak terbatas yang bisa diakses oleh siapa saja. Dalam bahasa seorang guru, menggali ke dalam seperti menggali sumur. Awalnya berjumpa rumput, akar, lumpur, batu (baca: halangan, cercaan, penderitaan). Namun, dengan ketekunan, suatu hari akan berjumpa kejernihan kedamaian.
Di Bali ia disebut Tapa Yadnya. Sebentuk Yadnya yang dilakukan dengan menggali ke dalam diri. Di Hindu ia diberi sebutan tapa brata yoga samadhi. Di Budha ia melewati tiga langkah sila, samadhi, panna. Di Islam dilakukan dengan menapaki syariat, tareqat, hakekat, ma’rifat. Sejumlah Santo (sebagai contoh Santo Theresia) menyebutkan pada akhirnya yang tersisa hanya kerinduan untuk mencinta.
Dirangkum menjadi satu, ada pergeseran dari kesalehan ritualistik (tunduk pada kebiasaan tua yang dogmatis), menuju kesalehan asketik (pengendalian diri) sehingga kemarahan, keserakahan lenyap diganti rasa lapar untuk menyayangi.
Membaca Pesan
Di Bali, tetua juga menyisakan pesan serupa. Di kepala pulau Bali, ada desa tua bernama Jagaraga (disiplinkan diri). Di kaki pulau Bali, tidak jauh dari Pura Sakenan (berasal dari kata Shakyamuni artinya ia yang mempraktekkan kesempurnaan keheningan), nama desanya Suwung (sunyi, sepi, Embang, Shunya). Dan, di Bali Tengah tetua mewariskan pura Pusering Jagat (pusatnya dunia).
Dibaca menjadi satu, langkah-langkah Tapa Yadnya ala tetua Bali dimulai dengan mendisiplinkan diri. Ujung perjalanannya bisa melihat kekosongan sejati. Ia serupa dengan lingkaran sempurna (mirip dengan matahari, bulan purnama dan bumi yang bulat sempurna). Lingkaran boleh berputar, namun di titik pusat lingkaran (pusering jagat), tidak terjadi gerakan dan perputaran. Hanya Embang, suwung, Shunya, parama shanti.
Terinspirasi dari sini, akan sangat bijaksana bila kita tetap menghargai orang tua yang masih merasa nyaman dengan upacaranya, karena penghargaan terhadap perbedaan adalah salah satu barometer kesuksesan Tapa Yadnya. Sama pentingnya dengan menghargai perbedaan, mendidik diri untuk senantiasa terkendali adalah wajah lain Tapa Yadnya.
Dalam badan ada dua hal yang layak didisiplinkan: hindari membunuh, hindari selingkuh, hindari mencuri. Dalam mulut ada empat hal yang perlu diawasi secara ketat: bohong, gosip, kata-kata kasar dan mengobrol tidak karuan ke sana ke mari. Dalam pikiran ada tiga hal yang mesti diterangi cahaya kesadaran: kebodohan seolah-olah dualitas (baik-buruk, benar-salah, suci-kotor dan lainnya) itu ada, keserakahan (termasuk serakah hidup harus selalu tenang, damai dan gembira tanpa gangguan), kedengkian alias kemarahan. Inilah Dasa Tapa Yadnya. Bila ditambah dengan banyak menyayangi, menjadi sebelas Tapa Yadnya. Tidak saja menyayangi manusia juga seluruh ciptaan.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, tidak kebetulan kalau kata sila (inti pengendalian diri) dalam bahasa Sansekerta berarti keadaan batin yang sejuk. Karena dalam kesehanian yang dibimbing etika dan tata susila, jauh lebih sedikit mahluk yang disakiti, jauh lebih banyak mahluk yang bisa disayangi.
Kerap ada yang bertanya, apa tanda keberhasilan Tapa Yadnya? Kemarahan, kedengkian, kelelahan dan sejenisnya. hanya terjadi dalam batin yang belum terdisiplinkan. Dalam batin yang terdisiplinkan rapi, manusia bisa “beristirahat” pada apa saja yang terjadi. Tidak saja dalam kebahagiaan dan kesuksesan manusia bisa istirahat, dalam kesedihan dan kegagalan juga bisa ber-isitirahat. Ciri manusia yang beristirahat dalam keheningan adalah tidak ada lagi yang perlu dilawan dan ditendang, semuanya sudah mengalir sempurna sesuai dengan putaran waktunya.
Meminjam salah satu cerita Zen, ketika hujan turun ayam berteduh di bawah pohon, bebek menyemplungkan diriinya di kolam. Keduanya menempuh jalan berbeda, namun keduanya berbahagia di tempat masing-masing apa adanya. Selamat bersembahyang di bulan Purnama yang bentuknya bundar sempurna. Bulan boleh berputar, bumi boleh berputar, tapi di titik pusat lingkaran (pusering jagat) tidak ada gerakan maupun putaran, hanya keheningan yang menawan. Cuma, keheningan baru sempurna bila dipadukan dengan kasih sayang.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1547&Itemid=96