Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
Pendahuluan
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga
kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan
integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat
Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran
agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas
keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah
aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik
sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama
yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai
wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan
Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan
dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan
(wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah
sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Dalam fenomena keberagamaan Hindu di
Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan
dengan aspek lainnya. Acara agama
yang seringkali juga disebut upacara atau
ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan
dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada
dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua,
yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya
yadnya adalahyadnya yang
dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada
waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan
hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh ini masih
banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang
tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
diuraikan tentang acara agama Hindu yang
pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.
Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu yang
diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang mulanya berkembang di India Selatan.
Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat
dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan
filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis
kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis
mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu
yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga
menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan
induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa
unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan
kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan
lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama
Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama
Hindu di India.
Mashab Saiwasidhanta mendasarkan
filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan
bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara
Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagiBhagavadgita, dan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan
yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana
Bhatara). Sejalan dengan ini, Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang
tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali
tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini
diwarisi di Bali tidak bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.
Tattwa
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal
kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih
mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”.
Kerapkali tattwa disamakan dengan
filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah
filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki
dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat
merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya
harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan
dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang
harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran
dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu,
kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih
tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar
keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang
disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa,
Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Susila
`
Sementara
itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara
umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”.
Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan
hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi
juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik
harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral.
Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik.
Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk
dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan
membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika
didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang
tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara
”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian
dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara
tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek
kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam
skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa,
etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing
institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu
tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di
komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata
”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan.
Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh
Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh
terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena
melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Upacara
Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang
menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir Moonier
Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain
diartikan sebagai berikut.
(1) Tingkah laku atau perbuatan yang baik;
(2) Adat istiadat;
(3) Tradisi atau kebiasaan yang merupakan
tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang
didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.
Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga
pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti
kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah
mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat
dibandingkan dengan kata cāraka yang
bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam
bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang
bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan
kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan
makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut,
makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang
pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan,
tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau
suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah
mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.
Pengertian dari kata acara juga
ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177),
sebagai berikut:
”nihan pajara mami, phala sang
hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga
widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening
anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang
aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti
kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab
suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta
bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan
lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati
dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan
keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan
diamalkan, ācāra adalah tindakan yang
sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka
Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang
tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi
landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku
umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam
lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi
landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila dalam
wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa
adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang
tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia
melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya,
demikian halnya dengan susila yang
tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan,
tata nilai dan norma-norma sosial.
sumber:http://budiana04.blogspot.com/2013/03/tiga-kerangka-dasar-agama-hindu_22.html