Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
22. Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan Tiga Bentuk Transformasi Citta |
[YS III.5 - III.8]
Kebijaksanaan (prajña) hadir berangsur-angsur, namun pasti, bersama dengan semakin jernihnya citta. Dalam sutra III.5 diingatkan kalau Samyama hendaknya dialokasikan pada pencapaian Kebijaksanaan; bukan yang lainnya. Bilamana sesuatu yang lebih tinggi dan lebih internal dimungkinkan dengan upaya yang sama, kenapa mesti mengupayakan sesuatu yang lebih rendah dan lebih eksternal?
Samyama jelas lebih internal bila dibandingkan dengan Yama, Niyama, Asana, Pranayama dan Pratyãhãra. Ia sepenuhnya fenomena internal, yang berlangsung di dalam tataran batiniah sang penekun, dimana ia tidak lagi terkait dengan prana, apalagi dengan raga. Penarikan perhatian ke dalam atau Pratyãhãra, telah terlaksana. Samyama dan pencapaiannya yang akan dipaparkan dalam sutra-sutra berikut masih lebih eksternal dibanding Nirbija Samãdhi.
Tiga Bentuk dan Tiga Proses Transformasi Batin.
Nirodha Parinama adalah transformasi citta bersamaan dengan semakin majunya kemampuan pengendalian pikiran berkat musnahnya insting-insting destruktif, baik yang sedang berlangsung maupun yang datang menyusulnya. Alurnya berlangsung dengan kalem, layaknya suatu kebiasaan saja.
Bila transformasi citta dihasilkan berkat keberhasilan dalam menyatukan bentuk-bentuk pemikiran yang buyar dan beraneka-ragam itu, ini disebut Samãdhi Parinama.
Ekagrata Parinama adalah transformasi citta bila ia dicapai dalam kondisi terpusat dalam kedamaian.
Melalui tiga prinsip transformasi (parinama) tersebut, perubahan terhadap bentuk, waktu dan kondisi dari elemen-elemen sensasional kasar maupun halus, dapat diikuti dengan amat jelas—apakah ketika alirannya tenang, aktif, maupun campuran.
Perbedaan bentuk transformasi seperti itu, disebabkan oleh perbedaan pada proses yang melandasinya.
[YS III.9 - III.15]
Masing-masing penekun tentu mempunyai kekuatan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangannya sendiri. Itulah bagian dari keberadaannya. Kekuatan dikembangkan dan disempurnakan, sementara kelemahan dikuatkan dan kekurangannya ditambahkan. Pratipaksa Bhavana, seperti yang telah disebut sebelumnya, adalah metode yang dianjurkan oleh Patanjali untuk ini. Transformasi batin yang dicapai bisa mengambil tiga bentuk, sesuai keberadaan dari penekun itu sendiri. Masing-masing bentuk proses transformasi tersebut tergantung pada keberadaan dan landasan berpijak darimana penekun memulai pendakian spiritualnya ini.
Bila seorang penekun berpijak pada kemampuan memusnahkan pengaruh kesan-kesan mental yang bermunculan serta insting-insting destruktifnya, maka ia menggunakan proses Nirodha Parinama; bila ia kuat dalam berkonsentrasi, dalam menyatukan berbagai bentuk dan kebuyaran pikirannya, maka ia menggunakan Samãdhi Parinama. Sedangkan bila ia lebih berkemampuan pada memegang satu objek dengan kuat, sehingga tak ada tempat bagi yang lain kecuali objek tersebut, maka ia disebut menggunakan proses Ekagrata Parinama. Setiap penekun dianjurkan menggunakan bakat, kecenderungan dan kekuatannya masing-masing. Untuk itu, ia tentu mesti tahu terlebih dahulu apa bakat dan kecenderungannya, dan apa kekuatannya yang dapat ia handalkan untuk bertransformasi. Pratyãhãra mengantarkan penekun mengetahui semua itu.
Yang pasti, dalam perjalanan transformasi itu perhatian dan kewaspadaan harus senantiasa terjaga alirannya. Segala fenomena dan proses transformatif internal teramati dengan baik, cermat dan seksama. Sang penekun menjadi benar-benar memahami bagaimana sebetulnya ‘berlangsungnya proses perubahan internal’ tersebut.
Melalui Samyama terhadap tiga macam proses transformasi tersebut —nirodha, ekagrata dan samãdhi parinama— diperoleh pengetahuan tentang masa lampau dan masa mendatang (atita-anagata jñanam).
[YS III.16]
Nah...disini jelas disebutkan kalau yang menjadi objek Samyama proses transformasi itu sendiri, sang penekun teranugrahi pengetahuan atau kemampuan untuk dapat menyeberangi tiga-masa.
Pada kesempatan terdahulu, saat membahas sutra-sutra terkait dengan Pratyãhãra telah disinggung anjuran untuk menjadikan Pratyãhãra sebagai terminal. Terminal dalam arti suatu pemberhentian, dimana kita istirahat saat datang dari atau akan menuju ke suatu tempat tertentu. Dengan demikian, batin senantiasa dalam keadaan siaga penuh. Bila sewaktu-waktu harus melaksanakan tugas Samyama, batin tak perlu mengumpulkan serpihan-serpihan pikiran yang terpencar terlebih dahulu. Dengan berterminal pada Pratyãhãra, disamping kesiagaan di peroleh, juga enerji vital terkonservasi dengan baik dan siap sewaktu-waktu digunakan sebagai daya dorong roket Samyama.
Agar tak terlalu meruwetkan, bayangkanlah sebuah roket pelontar dan pengorbit sebuah satelit. Ia butuh tenaga besar untuk melawan gravitasi dan keluar dari atmosfir. Untuk itu ia butuh hidrogen cair dalam jumlah besar, yang ditempatkan dalam beberapa tangki secara tersusun bertingkat-tingkat. Tidak semua tangki dibawanya ke luar-angkasa, yang tanpa bobot itu. Tangki paling bawah dilepas bersamaan dengan tercapainya ketinggian tertentu, langsung disusul dengan berfungsinya tangki berikutnya. Demikian seterusnya, transformasi terjadi silih-berganti hingga satelit mencapai orbit-geostiosinernya. Bandingkan formasi roket yang berbeda-beda pada setiap tahap ini sebagai proses parinama, dimana tangki bahan-bakarnya yang tersusun itu sebagai prana; dan pesawat ulang-aliknya sendiri sebagai citta.
Nah....memandang dari orbit-geostiosinernya itu, pesawat —yang kini berfungsi bak satelit— dapat mengamati dengan jelas apa yang terjadi di bumi dan sekitarnya. Disana ia juga bergerak dengan amat ringan, karena disana tak bekerja gravitasi. Demikianlah kurang-lebih kita membayangkan proses Samyama terhadap parinama ini, untuk lebih memudahkan.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=330&Itemid=93
Related Posts :
- Back to Home »
- wayan »
- 22. Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan Tiga Bentuk Transformasi Citta