Posted by : Unknown
Rabu, 23 Oktober 2013
Bicara Keburukan Orang Adalah Meditasi |
Bicara Keburukan Orang Adalah Meditasi
Oleh : I Gede Suwantana
Kimcijjñair yâ ámrtâ üuddhih sa üuddhih uambhudaruane
Na uucir hy auucis tasmân-nirvikalpah sukhibhavet
(Vijñânabhairava, 123)
Kemurnian yang dipahami oleh masyarakat umum dengan pengertian yang sangat térbatas di dalam paham Saiva, sesungguhnya dinyatakan sebagai ketidakmurnian. Tidak bisa disebut kemurnian tetapi hanya ketidakmurnian. karena itu hanya orang yang telah bebas dan vikalpa-lah yang mencapai kebahagiaan.
Mutiara Weda – NusaBali, Rabu 29 Juli 2009.
Bicara Keburukan Orang Adalah Meditasi
Oleh : I Gede Suwantana
Kimcijjñair yâ ámrtâ üuddhih sa üuddhih uambhudaruane
Na uucir hy auucis tasmân-nirvikalpah sukhibhavet
(Vijñânabhairava, 123)
Kemurnian yang dipahami oleh masyarakat umum dengan pengertian yang sangat térbatas di dalam paham Saiva, sesungguhnya dinyatakan sebagai ketidakmurnian. Tidak bisa disebut kemurnian tetapi hanya ketidakmurnian. karena itu hanya orang yang telah bebas dan vikalpa-lah yang mencapai kebahagiaan.
Ini adalah salah satu teknik meditasi dalam Tantra. Kalau concern kita pada nirvikalpah sukhi bhavet, ‘hanya orang yang telah bebas dari vikalpa yang mencapai kebahagiaan,’ maka hanya orang-orang tertentu saja yang mampu mencapainya. Vikalpa artinya dikotomi kontruksi pikiran. Jarang sekali orang yang mampu melepaskan dualitas atau dikotomi ini, seperti baik-buruk, panas dingin dan lain sebagainya. Hampir semua dan kita masih sangat terbelenggu dalam baik dan buruk dan kalau dilihat di dalam masyarakat sendiri, hanya inilah yang diperdebatkan. Ideal yang ingin dicapai adalah kebaikan dan menghilangkan keburukan.
Bagaimana sloka ini menjadi teknik meditasi di dalam masyarakat? Mari kita analisa pernyataan ini dengan realitas di masyarakat. Eksistensi masyarakat, karena masih berkutat pada dualitas, maka menurut paham Saiva adalah ketidakmurnian itu sendiri. Paham ini lebih mengarah pada individu, yakni hanya dia yang mampu mengatasi dualitaslah yang disebut murni (suddhih). Kemudian, kenyataan dialektika di lapangan yang dapat kita lihat adalah masyarakat berusaha mencapai kebaikan. Mari kita nyatakan bahwa kebaikan dan kemurnian ni sejalan, meskipun maknanya berbeda. Ketidakmurnian dan keburukan adalah lawannya. Dimana kita melihat indikasi ini (bahwa masyarakat menginginkan kebaikan)? Buktinya, setiap orang bisa membicarakan keburukan orang lain. Siapapun yang bisa membicarakan keburukan orang lain berarti dia lebih baik dari mereka yang dibicarakan (sebab logikanya dalam bersih kita bisa melihat kotor. Bersih eksis karena kotor juga eksis. Setiap orang menginginkan baik seperti dirinya.
Dari analisa ini dapat kita nyatakan bahwa “kemurnian orang lain adalah ketidakmurnian bagi diri kita atau kebaikan orang lain adalah keburukan bagi kita.” Mengapa? Sebab orang lain tidak murni atau baik seperti kita. Oleh karena itu sangat wajar kalau di masyarakat setiap orang membicarakan keburukan orang lain dan meninggikan dirinya sendiri. “Menggosipkan orang lain adalah bentuk meditasi”. Bagi masyarakat umum mereka bermeditasi dengan gossip. Untuk duduk hening mereka tidak ada waktu, namun dengan gossip, mereka bisa duduk berjam-jam. Mereka nyaman dan bahagia dengan cara ini. Memang, tujuan meditasi adalah mencapai kebahagiaan seperti sloka di atas. Karena dengan cara ini mereka bahagia, maka mereka tidak mau lepas dari gossip, membicarakan keburukan orang lain dan menginginkan orang lain seperti kebaikan ideal yang ada pada dirinya.
Namun ada beberapa orang yang merealisasikan melalui meditasi ini bahwa jika orang lain diluar diri kita adalah tidak murni atau buruk (makanya kita gosipkan), maka orang lain pun memandang diri kita buruk, sebab standpoint-nya adalah dini individu masing-masing. Orang yang mampu merealisasikan ini melihat bahwa dirinya pun buruk di mata orang lain (sepanjang pernyataan ini kita concern). Karena demikian, ia tidak bisa lagi membicarakan keburukan orang lain, sebab dia sadar bahwa dirinya sendiri juga buruk bagi orang lain. Ia tidak bisa menjelekkan karena sama-sama jelek. Ia tidak lagi bisa menggosip. Di masyarakat orang seperti ini dianggap gila, orang aneh, sebab tidak bisa mengatakan kejelekan orang lain lagi. Dia berbalik, dia akan selalu melihat kejelekkan dirinya dan melihat kebaikan orang lain. Masyarakat menyatakan orang seperti ini telah lepas dari lingkungan yang “meditative.” Masyarakat selalu berada dalam keadaan “meditative”. Maka kesimpulannya adalah untuk tetap berada dalam kondisi “meditative,” selalulah membicarakan kejelekan orang lain! menggosip. Penulis, Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta.
sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1420&Itemid=96